Senin, 27 September 2010

Let's Dance in the Moonlight


Berdansa di bawah terang bulan?

Ini ingatan saat aku berkencan dengan istriku. Sabtu malam, aku mengajaknya menonton Lost in Love di salah satu pusat perbelanjaan Cirebon. Aku tertarik pada fokus panorama dalam filmnya, Paris, dan tak peduli apakah jalan ceritanya bisa membuatku berdecak, atau hanya mendesah bosan, jarang-jarang ada film berlatar Paris ditampilkan di sini.

Tapi, saat pertengahan film (skena saat tokoh utama memesan ratusan cangkir kopi) – lampu padam. Layar mendadak putih, jeda sebentar, film dimulai lagi. Kami keluar dan pulang karena adik istriku ketakutan – lampu padam tanpa pemberitahuan, siapa tahan akan ini? Sepanjang jalan, gelap melenggang. Beberapa pedagang menyalakan lilin – minimarket mengaktifkan gensit. Tapi, saat diam beberapa menit, aku menyadari, malam tak begitu gelap. Ada terang bulan dan pijar bintang menyelimuti. Biarpun sunyi, tetap bersinar berbinar-binar. Panorama dan kesan yang ditimbulkan sangat memesona, bahkan jauh lebih menakjubkan dibanding gambaran Paris di layar datar tadi. Aku tak pernah menyadari keindahan ini karena selalu disembunyikan lampu kota

Sambil sesekali menatap pendar bintang, aku merenung, kapan terakhir kali aku bermain di bawah purnama sambil santai dan senang akannya?
Semasa kanak, hiburan utamaku adalah bermain sepeda. Lalu membeli teh bungkus seharga Rp.100,- dan duduk di taman bersama teman-teman. Pun, kala malam tiba, dan bumi bermandi cahaya, kita berperang dengan pedang mainan.

Bukankah anak-anak harus bahagia di masa apa pun?

Tapi, aku menyadari sesuatu. Bintang dan bulan tak pernah berubah, terangnya masih sama – lenaknya juga tetap. Kehangatan kala memandangnya sama dengan bersilam tahun. Meski makna yang ditangkap pasti beda. Mereka masih mengajak dan menemani semua anak untuk menemukan indah kebersamaan.

Kelip bintang yang terpacak di langit – sepertinya mampu mengubah pandangan kita akan hidup. Kebahagiaan ternyata milik siapa saja, seandainya kita mau menatap keindahan ciptaan Sang Pembesar Jiwa. Sebab, kita sebenarnya ada di ruang kebahagiaan, hanya saja, sulit menyadarinya. Atau, mungkin tak sulit, sama seperti menatap bintang di langit dengan penuh sukacita, dan tak menyungut kala rintik gerimis mengenai kening =).

Becak menepi di depan rumah, gelap masih membayangi. Lilin sudah dinyalakan, sekeliling nampak ramai. Rupanya, banyak tetangga memutuskan berbincang di luar. Aku tersenyum pada istriku. ‘Duduk di teras, bagaimana?’ ajakku. Istriku mengangguk, ‘boleh.’

Terang bulan masih ada. Padam lampu akan lama.
Dan aku, tak pernah benar-benar menyukai mati lampu seperti saat ini.

Rafael Yanuar (26 September 2010)

Perjumpaan:

Kenang-kenangan waktu pacaran dulu =). Dan, mati lampu benar-benar membuka pemahamanku, bahwa di masa sulit sekalipun, ada keindahan tersangat nyata.

Rabu, 01 September 2010

Serenada Penidur Hujan


: Papi

Saat malam tiba - dan lelap gawaikan hening, peri-peri pemetik hujan berkumpul di satu sisi hutan kecil. Mereka meminta pada daunan untuk merenda pagi agar khias lembayung jelma lukisan seindah candhikala. Lalu sepanjang hari, hujan tak turut tenggelam. Rintiknya indah dipagut kesedihan, membingkai sunyi, larut dalam rananada penidur awan. Peri kecil tak mau gerimis melusuh diterik siang, dan saat matahari meninggi di pucuk langit, mereka meminta kunang-kunang menyebarkan abu pada mendung. Hujan pun datang – jatuh mengabarkan kesedihan selaik air mata menyingkap haru di setiap tumpahnya.

Ya, mesti ada yang bisa menjaga agar hujan selalu sepanjang hari.

Kini malam merajut hitam, menidurkan hujan diceruk angkasa. Tirai hitam merenda api di persendian kala. Rembulan tinggi melagukan timang pada telaga. Namun, bila kau sudi menyipitkan mata sejenak, kau bisa melihat, sosok pemuda sebatang kara, menunggu gerimis tumpah nun di sana. Ialah pengelana yang diceritakan angin pada pohon-pohon dan daun-daun; konon, kekasihnya perajut hujan, menenun luka sepanjang masa, menitipkan hati pada rintik air mata.

Mendengar dongeng itu, peri-peri kecil mengumpulkan satu-satu rintik terpedih di antara ribuan tetes air hingga membentuk ukiran di wadah kaca, berhias pita dari serat-serat kulit pohon pinus. Mereka menangis kala mendengar nyanyian yang dilantunkan angin. Dan semenjak saat itu, air mata pengelana tak pernah mencapai tuntas - sebab ia kehilangan puncak kenangan di setiap napas hujan.

Pagi tiba - peri kecil kehilangan pastel senja. Hingga mereka tak bisa menggurat jingga pada pagi. Warna abu tak mampu menutup jalan matahari, hingga sinarnya menyusup celah di wadah kesedihan – terpecah jelma air mata bentuk hujan tanpa awan. Pengelana yang merasakan air mata tumpah di telaga, menangis sepanjang hari. Sambil bibirnya berbisik ngilu.

Ingin kupetik sunyi di matamu, Hujan. Agar sepi merapat di pelabuhan jiwa - aku bergejolak merangkai kenangan menjadi daun-daun jingga, apatah mampu terbaca di sekujur mimpimu?

Peri kecil yang melihat hujan tak digores gurat jingga - melusuh pada doa-doa. Rupanya, hujan telah menyadari perjalanannya sebagai air mata dan tulus melepaskan pertemuan. Ia tahu, tak ada perjumpaan yang sia-sia, selalu ada makna di tiap jeda perpisahan, meski air mata mesti tercipta dari penderitaan, ia lahir sebagai keelokan. Karena kenangan pula laiknya hujan, setipis jarak antar-jemari dan rintiknya air. Dan waktu telah membuatnya berarti.

Aku tahu, perpisahan halnya satu fragmen yang akan mempertemukan kembali – di sana, selalu ada kenangan tatkala rindu menjelma lingkaran dan ucap kata.

Dan kini,
pada sekecup kenangan pagi
hujan pun tertidur.

Rafael Yanuar (29 Juli 2010)
--- buat papiku yang kemarin ( minggu 25 Juli 2010 ) berpulang ke sisi-Nya.