Minggu, 22 April 2012

Kunang-kunang, Maut dan Seribu Burung Kertas




Kepadamu, perempuan bermata senja

masih ingatkah kau, pada burung-burung kertas
dalam toples kaca bening
pemberianku?

Adakah ia abadi, seperti janjiku dulu
meski kematian terlalu cepat merenggutmu
bahkan sebelum sempat kauhitung jumlahnya
tepat seribu

dan angin pun
mengalir di dua bolamatamu
mengalir dan terus mengalir
seperti mata air, berhembus
di debar darahku

hidup ternyata membuat luka terasa deras
meski selebihnya hanya cinta dan marah

engkau begitu diam memandang maut
berkelindan di mata burung-burung kertas
telah kaulihat kunang-kunang benderang
di dalam jasad puisi

kelak kematian tak datang lagi, katamu
tak datang lagi

dan sebilah belati memantulkan hangat darah
membelah

dan segalanya
meniada.

20 April 2012

Jumat, 13 April 2012

Bandara Dekat Rumah


Sayang, ingatkah,
ketika berumah di dekat bandara
setiap malam kita suka duduk di lantai dua
sambil mencari bintang paling terang
tuk kemudian dijadikan satu-satunya
benda berharga milik kita.

Lucunya,
meski belum pernah naik pesawat
kita telah merayakan
berbagai macam perjumpaan, sebab
ketika pesawat mendarat
getarannya selalu sampai di lantai rumah kita.

Kini, sudah lama kita tak tinggal di sana
bandara pun hendak dipindahkan sebentar lagi
aku membayangkan betapa sepinya keadaan di situ
tanpa deru pesawat dan dengung pengeras suara
kau pun pasti merasa sedih, bukan?
Ketika jalan-jalan
hanya menyisakan kenangan.

Lalu, ketika segalanya tak lagi sama seperti dulu
bintang paling terang, masihkah berpijar
di beranda langit kita?


13 April 2012

Merenovasi Rumah Tua




/1/

Dulu, ada sebuah rumah di ujung kota
di mana temboknya sudah lapuk dimakan rayap
dan atapnya hanya tinggal puing-puing belaka
karena ilalang tumbuh membelukar di kebun kecilnya
keberadaannya pun tak lagi dikenali.

Suatu senja,
ada seorang pria tertegun memandangnya
dalam hati ia merasa
alangkah mirib hidupnya
dengan kondisi rumah tersebut
ia pun menghubungi pemiliknya
dan langsung membelinya.

/2/

Dengan sabar, ditemani beberapa tukang
ia pun memasang kayu dan genting
mengaduk dan mengecor semen
lalu mengorek dengan tombak
ilalang di sekitar
dalam setahun, renovasinya rampung dengan hasil memuaskan

ia pun mengecat dinding rumahnya
dengan warna putih dan biru—seperti langit dan laut
warna kesukaannya.

Ia lalu menanam bunga-bunga di halaman kecilnya
dan menyiramnya dengan hati-hati

: pagi ketika matahari memulai hari, ia sempatkan
memandikan morning glory dan lili kesayangannya
dan membiarkan embun mengalir di lembut kelopaknya

senja setelah lelah bekerja
tak lupa ia mengemburkan tanah dengan pupuk
dan secukupnya air hangat

malam, manakala hatinya dipenuhi
kegembiraan esok hari
ia pun menatap teduh kebun kecilnya
dengan bahagia

tanpa disadarinya, kehidupannya pun turut membaik
bersama rekahnya bunga-bunga di halaman rumahnya.

/3/

Kini, rumah tersebut menjadi satu-satunya rumah
dengan halaman dipenuhi bunga-bunga,
ketika melewatinya, banyak pejalan terdiam dalam jenak
dan menikmati perhentiannya, dengan decak.

13 April 2012

Sabtu, 07 April 2012

Malam Kunang-kunang


– Papi

Pada suatu malam di kampung halaman
kunang-kunang muncul di balik ilalang
terangnya bak semburat purnama
mengembara di rimba gurita
tabahlah malam walau tiada lagi
dapat pendarkan cahaya.

Hujan pun menghamburkan sepi dalam tubuh puisi
beberapa rintiknya jatuh menerobos sunyi –
waktu berjalan pelan bagai sisa umur menziarahi masa lalunya sendiri
di lumbung kenangan, daun-daun meluruhkan hening hari.

Malam kunang-kunang di kampung halaman
tak pernah lagi dapat aku saksikan
hanya batu dan sayup rumputan
ditiup kesiup angin kemarau
engkau dan aku hanya tinggal masa lalu
segalanya telah berlalu.

Malam pun melipat sayapnya
melepaskan segala kenangan –
menjadi hening.
Hanya hening.

Apalagi?

2007

Aku Ingin Pulang


– Papi

Ayah
aku ingin pulang.

Menyusuri hamparan persawahan
menyaksikan matahari terbit dan terbenam
di kota kecilmu.

Tapi sekarang — kau berkata
kotaku tak lagi sama.

Ia serupa detik di sebuah jam tua
tak pernah bisa mengabadikan apa-apa
dan kita — hanya mampu membentuk kecemasan
bagai reranting tersapu angin
gelisahkan udara.


Aku hanya diam
menikmati semlir angin membawa hangat ingatan
menyaksikan burung-burung sunyi melintas jembatan
kita terus mengenangkan hujan semalam
dan merasa sangat kesepian.

Ayah
aku tetap ingin pulang.

Sebab di kotamu, bulan selalu pualam
bintang-bintang menyentuh langit dengan bayangan abadi
di teduh matamu.

Kau tersenyum —
Bukankah kesendirian membuat kita tahu, cinta ada?

Dan aku kembali disamarkan kenyataan
kau telah tiada.
Hanya bayangmu, senantiasa
tak lagi berubah.

Sebuah pusara.

27 Agustus 2011

Aroma Musim Panas



Sampai selamanya
aku tak mungkin melupakan
pemandangan bunga rumput di balik pagar sekolah
di mana kita biasa duduk dan menghabiskan jam istirahat
sambil berbagi kisah, berdua.

Di sana, dengan kapal-kapalan kertas
kita sering menerbangkan puisi
meski sayapnya acapkali tersesat di atap sekolahan
dan tak pernah turun lagi.

Kau pun tertawa ketika menyadari
aku tak sedang menerbangkan apa-apa
selain sebaris ungkapan sayang
dengan namamu sebagai judul.

Kini, setelah banyak tahun berjalan, adakah kaubertanya
: pada siapa waktu sebenarnya berdetak?

02 Februari 2012

Percakapan Kecil di Sebuah Hujan


Aku sedang berada di toko bunga
ketika sulur-sulur kabut mulai terlihat
dan jari-jari hujan menanam akarnya
di tubuh bumi.

Di depan jendela
di dekat jam penghitung denyut
—dan pertemuan
kausedang merapikan beberapa kembang
dan meletakannya rapi bagai sebuah lukisan
dengan warna cerah menghadap langit.

"Untuk apa jendela dibuat?" tanyaku
ketika aku membantumu merangkai kembang
dan kita sama-sama merasakan butiran hujan
membasahi tubuh dan baju.

Kau pun tertegun
kemudian menuntunku memasuki ruangan,
hujan masih menanam bibit mungil waktu
di tanah depan rumahmu.

"Bukankah kita sama tahu
jendela dapat membuat kita menikmati hujan
tanpa perlu merasa kedinginan?"

Aku tersenyum
"Kau benar, dan aku bisa membuktikannya padamu,"
—kataku
sambil mengajakmu menyatukan jemari
kiri dan kanan, dan mulai menciptakan hangat
dengan pelukan.

— 5 April 2012 —

Selasa, 03 April 2012

Dua Puisi Hari Kemarin


: Papi

- 01

Lamunan Sebelum Fajar

Ketika bulan sedang purnama
bapak selalu terbangun tengah malam,
mata coklatnya berhadapan dengan mata jendela,
Seolah bergumam.

“Haruskah aku bekerja lagi
memotong kayu bakar
menyiangi ladang
dan berteduh di bawah pohonan rindang
sebab malam terlampau panjang
tuk dihabiskan di dalam kamar.”

Lalu, ketika kelepak samar kelelawar
mengelitik daunan kuning, dan burung kecil
mencari makan di balik reranting kering
bapak pun memandang jendela lama sekali.

- 02

Kenangan Sebelum Fajar

Di depan mata jendela
desau angin meniup baling-baling
udara mengetuk begitu tajam
cahaya tak pernah memejamkan mata
derik jangkrik mengusik alangkah hening
malam hidup, meski desa tertidur pulas.

Aku ingat
bila terjaga tengah malam
bapak pasti duduk di depan jendela
matanya demikian awas
melihat Tuhan bekerja.

20 Maret 2012

Perempuan di Balik Jendela Hujan


: Anri Kumaki

Aku menyukai gerimis di beranda rumahmu, Anri
butirannya selalu mampu meriapkan harum pada tanah nan hidup
aku mencintai pemandangan teduh manakala
kau tersenyum merenung bisikan bunga-bunga di seberang jendela.

Tak seperti hujan deras diremas halimun, Anri – hujan kecil-kecil
di beranda rumahmu
tak sekadar memekarkan sunyi
di butirnya mengalir damai – seperti hendak mengajak rindu
semakin dalam menyusur ingatan.

Sebab ketika cinta menubuh pada bening waktu
segala cuaca tak lagi memiliki nama
gerimis pun ingin menatapmu lebih lama
sebelum langit menghapusnya
dan pagi menjadikannya
tiada.

4 Maret 2012

Asa


Ibu, pernah kita habiskan malam bersama
bercengkerama tentang kenes-nya Ibu Pertiwi
cuaca sedang sejuk – angin sepoi melambai
luka-letih akibat kerja sehari cepatlah mengering.

Aku ingat
bilik kita sederhana saja –
selalu ada angin masuk melalui lubang dindingnya
namun kendati siupnya melebur bersama dingin di depan jendela
kita masih merasakan hangat.

Hikayat cinta tertulis mesra di dalam kebersahajaan kita
cerita-cerita indah tentang negeriku
senantiasa mengantar tidurku
namun bencana nista melanda tanah air kita
tiba-tiba saja, dalam waktu singkat – aku menjadi sangat sendiri
kau pergi menuju rumah ilahi
menyisakan jejak air mata dalam dadaku.

Kini, dongeng-dongeng tentang negeriku nan kaya
hancur manakala televisi masih saja memberitakan
sibuknya perwakilan kita
mengatur jam rapat dan gaji.

Lumpur-lumpur pengubur rumah kita, Ibu
mungkinkah kelak menjadi legenda – tentang para pembual
bernama pemerintah
manakala kebenaran diinterupsi hegemoni
dan rakyat menjadi sasaran kepentingan.

Ibu, tiba-tiba saja
aku jadi takut berharap
apalagi berdoa
mungkinkah pemimpin kita masih memiliki hati nurani?

14 September 2011