Jumat, 26 Desember 2014

Telepon Benang




dulu, 
ketika senja rekah
dan hujan reda sudah
dengan polosnya aku mengajakmu
membuat telepon dengan gelas aqua
meski kini hanya ada
aku sendiri, mengulurkan benang di seberang
pohon jambu liar.

namun, hei, aku bisa mendengar suaramu
samar-samar ketika
kau berkata ‘halo,
di sini penjual bunga,’
dan aku menyambutnya dengan tawa ceria
menelan air mata sekadar ingin mengenangmu
dengan bahagia.

namun,
apakah kita
masih diizinkan bertemu,
seperti dulu ketika
hari esok menjanjikan
senyummu?

14 April 2011

Catatan
Tulisan-tulisan tentang Penjual Bunga, apabila dikumpulkan, sepertinya bisa menjadi kisah yang panjang (tertawa).

Sebuah Kota di Sudut Puisi



di sini, jauh di dalam hati
ada satu malaikat, tumbuh di sudut puisi
butiran salju berbentuk mawar putih
jatuh di sepasang sayap kecilnya.

ia terbiasa menengadah
ketika dingin kelopak menyentuh hangat hidungnya
lalu bernyanyi suka ria
ketika semilir membasuh jernih matanya.

aku mencoba menyentuh rona pipinya
dengan meletakkan tangan di depan dada
sekadar ingin menghayati
tumpahan rindu di dalam kalbunya.

pernah, pada suatu malam
dia mengeluh sunyi, sebab aku
mulai melupakannya.
langit pun berbarik bisu, berlimpah hujan dan halimun
aku memeluknya hati-hati dan berkata
“damailah, aku masih di sini,”
lalu menyelimutinya dengan doa.

jauh di dalam hati
ada satu malaikat bersayap putih
matanya hijau langit di bulan desember
sayapnya pendar pualam di malam purnama
senyumnya damai, baka
sebab selalu
dihangatkan dengan doa tak henti.

15 September 2011

Catatan

i.
Meski kerap begitu mudah dilupakan, seperti salju—indah namun rapuh, setidaknya di hatiku, kenangan tidak mati, tetapi selalu tumbuh. Kadang menjadi puisi, kadang menjadi malam ketika hujan perlahan reda, kadang bersembunyi di antara harum embun, pun pada lambaian daun.

ii.
Untukmu, selamanya.