Rabu, 01 September 2010

Serenada Penidur Hujan


: Papi

Saat malam tiba - dan lelap gawaikan hening, peri-peri pemetik hujan berkumpul di satu sisi hutan kecil. Mereka meminta pada daunan untuk merenda pagi agar khias lembayung jelma lukisan seindah candhikala. Lalu sepanjang hari, hujan tak turut tenggelam. Rintiknya indah dipagut kesedihan, membingkai sunyi, larut dalam rananada penidur awan. Peri kecil tak mau gerimis melusuh diterik siang, dan saat matahari meninggi di pucuk langit, mereka meminta kunang-kunang menyebarkan abu pada mendung. Hujan pun datang – jatuh mengabarkan kesedihan selaik air mata menyingkap haru di setiap tumpahnya.

Ya, mesti ada yang bisa menjaga agar hujan selalu sepanjang hari.

Kini malam merajut hitam, menidurkan hujan diceruk angkasa. Tirai hitam merenda api di persendian kala. Rembulan tinggi melagukan timang pada telaga. Namun, bila kau sudi menyipitkan mata sejenak, kau bisa melihat, sosok pemuda sebatang kara, menunggu gerimis tumpah nun di sana. Ialah pengelana yang diceritakan angin pada pohon-pohon dan daun-daun; konon, kekasihnya perajut hujan, menenun luka sepanjang masa, menitipkan hati pada rintik air mata.

Mendengar dongeng itu, peri-peri kecil mengumpulkan satu-satu rintik terpedih di antara ribuan tetes air hingga membentuk ukiran di wadah kaca, berhias pita dari serat-serat kulit pohon pinus. Mereka menangis kala mendengar nyanyian yang dilantunkan angin. Dan semenjak saat itu, air mata pengelana tak pernah mencapai tuntas - sebab ia kehilangan puncak kenangan di setiap napas hujan.

Pagi tiba - peri kecil kehilangan pastel senja. Hingga mereka tak bisa menggurat jingga pada pagi. Warna abu tak mampu menutup jalan matahari, hingga sinarnya menyusup celah di wadah kesedihan – terpecah jelma air mata bentuk hujan tanpa awan. Pengelana yang merasakan air mata tumpah di telaga, menangis sepanjang hari. Sambil bibirnya berbisik ngilu.

Ingin kupetik sunyi di matamu, Hujan. Agar sepi merapat di pelabuhan jiwa - aku bergejolak merangkai kenangan menjadi daun-daun jingga, apatah mampu terbaca di sekujur mimpimu?

Peri kecil yang melihat hujan tak digores gurat jingga - melusuh pada doa-doa. Rupanya, hujan telah menyadari perjalanannya sebagai air mata dan tulus melepaskan pertemuan. Ia tahu, tak ada perjumpaan yang sia-sia, selalu ada makna di tiap jeda perpisahan, meski air mata mesti tercipta dari penderitaan, ia lahir sebagai keelokan. Karena kenangan pula laiknya hujan, setipis jarak antar-jemari dan rintiknya air. Dan waktu telah membuatnya berarti.

Aku tahu, perpisahan halnya satu fragmen yang akan mempertemukan kembali – di sana, selalu ada kenangan tatkala rindu menjelma lingkaran dan ucap kata.

Dan kini,
pada sekecup kenangan pagi
hujan pun tertidur.

Rafael Yanuar (29 Juli 2010)
--- buat papiku yang kemarin ( minggu 25 Juli 2010 ) berpulang ke sisi-Nya.

2 komentar:

  1. Wahhh... telat saya T_T

    Saya turut berduka cita atas meninggalnya papi tercinta dari kk Rafael.

    BalasHapus
  2. Terima kasih, Puri :)

    Sekarang, semua sudah lebih baik, meski pilu masih bersahutan, dingin masih (akan) menjelang, setidaknya Papi sudah tenang dan selalu ada dalam ingatan di benak orang-orang yang menyayanginya. Lalu semangatnya menjadi hangat dalam erat pelukan :)

    BalasHapus