Jumat, 16 Maret 2012

Hachiko Monogatari


- 01

Di depan stasiun Shibuya
dia selalu berharap, sebuah janji dapat tertuntas
bahkan, setelah ia tahu
tak ada apa-apa
selain musim
selain ranggas daunan diremas lengan-lengan usia.

- 02

Mungkin
hanya pada derit-derit rel kereta tua
ia dapat bertahan tanpa sepatahpun kata
hanya harapan, pun sebait doa
dua jiwa dapat bertemu kembali.

Pada akhirnya
ia selalu percaya, ada jawaban di setiap penantian
di mana kenangan dapat menjelma pertemuan
bahkan tanpa perlu sambut pelukan
namun, sampai kapan, Hachi
kau mampu bertahan
menyembunyikan kenyataan, membiarkan tahun-tahun
terserak dalam penantian tak bersambut?

23 Juli 2010

Selasa, 13 Maret 2012

Benih Air Mata


Ayah, izinkan aku menanam air mata
di tanah tempatmu dipendam
dan biarkan ia tumbuh sebagai pohon
di mana rimbun daunnya selalu mampu
menaungi bumi rinduku.

Hingga nanti buahnya jatuh
sebagai makanan musim
dan rindu terus terbata membaca cuaca esok hari
biarkan air mata mengalir
menumbuhkan kenangan
di seluruh
perhentianku.

13 Maret 2012

Indonesia


Tanah airku, Indonesia
darah-jiwanya mengalir
jadi air sungai cinta
dalam dadaku.

Tanah airku, Indonesia
dulu alangkah kaya
malah katanya
tongkat batu bisa jadi tumbuhan.

Damai negeriku, damai bangsaku
bersama sahabat membangun bangsa
bertopang fondasi nan kuat
negeriku bertuhan, bersatu dengan harapan
memberi keadilan bagi seluruh rakyat
dalam rasa perikemanusiaan
: adil dan beradab.

Namun sekarang
Indonesia sakit
tubuhnya terlampau banyak dikerat tikus berdasi
sayap-sayap garuda dipatahkan wakilnya sendiri
korupsi bagai makanan sehari-hari
pemimpinnya kehilangan hati nurani.

Negeriku Indonesia
kini dipenuhi air mata
Ibu Pertiwi menangis tersedu-sedan
dan pemimpinnya hanya mampu berkata
"Prihatin!"

17 Agustus 2011
dan aku hanya menulis puisi?

Senin, 12 Maret 2012

Mati Lampu


Aku suka memandang lilin milik pedagang kaki lima
ketika listrik tiba-tiba padam
bintang-bintang menyala bagai perapian
mengalir hangat di dalam dada.

Hanya ketika listrik padam
kota temaram
semuanya mencari terang di luar rumah.

Seusai hujan udara lembab
langit tampak bersih seolah habis dicuci
aku senang merenung bulan berlama-lama
sambil mengenang suasana di kampung halaman
aku sering tak sengaja
memikirkan senyum cinta pertama
masihkah semanis pertama jumpa?

Tak terasa aku melamun begitu lama
lampu kembali menyala, malam menjadi batu
di halaman hujan tiba-tiba turun
deru isyarat tentang sebuah kehilangan
tiba-tiba saja terdengar
namun bukankah kita sama tahu
hanya dalam keadaan tanpa cahaya
kita dapat melihat cahaya.

12 Maret 2012

Desaku


Masa lampau
ketika sungai di desaku
masih bening airnya
purnama sering tergelincir
di permukaannya.

Anak-anak bermain sambil menyanyikan tembang Jawa
para ibu bercengkerama di tudung pohon cemara
pada hijau alamku, kemilau embun masih purba
menorehkan sejuk di benak siapa saja.

Kini desaku masih kaya
– setidaknya kata pendatang
meski hutannya tak lagi selebat dulu
hujan melulu berbuah banjir
langitnya dicemari polusi udara dan pabrik.

Anak-anak memilih bermain di dalam rumah
sebab di depan pintu, cuaca tak lagi ramah.

Desaku demokratis
banyak reklame partai
tertancap di tanahnya
desaku maju
akibat termakan rayuan retorika pembangunan.

Desaku berubah
rembulan enggan bercermin di keruh sungainya
sawah-sawah diracuni pestisida
penduduknya dipaksa memikul duka kemiskinan.

Tanah air kecilku, tuan, kini bermandi korosi
manakala segalanya selalu saja
dilumpuri kepentingan politik.

13 Maret 2012

Selasa, 06 Maret 2012

Perempuan Penjaga Wartel


Setiap kali berkunjung ke perpustakaan, saya sering bertemu dengan seorang perempuan yang suka membaca buku-buku Pablo Neruda. Saya bisa tahu karena saya pernah meminjam salah satu bukunya (padahal saya tak pernah membaca buku puisi sebelumnya).

Saya pun menuliskan sajak di selembar kertas, tentang betapa anggunnya dia waktu sedang membaca. Sajak itu saya selipkan tepat di halaman tengah buku dan menaruhnya di rak yang mudah dijangkau olehnya. Keesokan harinya, benar saja, ketika membacanya, dia pun tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan, dan sepertinya dia bisa menebak siapa penulisnya, karena sesaat, matanya menangkap basah saya yang sedang menunduk dengan pipi semerah tomat.

Kemudian, saya pun tahu, dia adalah perempuan penjaga wartel yang bekerja di depan perpustakaan. Di jam istirahat maupun libur, dia senang menghabiskan waktu dengan membaca. Saya jadi sering menyewa telpon meski tujuan utama saya adalah melihat senyumnya dari balik kaca, dan bila beruntung, saya juga bisa melihatnya membetulkan rambut sambil menggigit ikat merah jambu kesayangannya. Manis sekali.

Setelah berminggu menjadi pelanggan, akhirnya saya berhasil mendapatkan nomor ponselnya. Saya pun memutuskan menelponnya di wartel tempatnya bekerja. Kebetulan saat itu sedang jam makan siang, jadi kami bisa lama mengobrol, hingga setengah jam lebih.

Dia pun terbahak, waktu saya membayar dengan sekantong permen yang sering ia berikan sebagai ganti kembalian. "Terima kasih untuk obrolan manisnya," canda saya. Tepat di sebelahnya, saya pun meletakan buku "The Essential Neruda: Selected Poem", yang saya beli dengan upah hasil magang sebulan. Dibalik buku itu ada secarik kertas, di mana hanya dia yang tahu, apa yang tertulis di dalamnya.

=)

— 07 Maret 2012 —
Terinspirasi tulisannya Kak @hurufkecil di twitter, dan ditulis sambil menikmati lagu-lagunya Anri Kumaki di album Hikari no Toorimichi =).

Sabtu, 03 Maret 2012

Kita Menamainya Senja, Bukan?


Sebuah pemandangan sederhana
manakala langit membawamu
pada suatu tempat
di mana kau pasti disambut
dengan pelukan hangat
sementara di sini, hanya ada kehilangan
dalam dadaku.

Namun bukankah hidup
seringkali berada
di antara perpisahan dan pertemuan.
Lalu, ada di sisi manakah
kerinduan
kauletakan?

03 Maret 2012

Sasmita Alam


Pada sembab malam
ketika kunang-kunang
berpendaran di telapak ilalang –
malam pun menciptakan kehidupanya sendiri
kehidupan penuh rahasia
di mana kita—manusia, tak pernah mampu
menyintuhnya.

27 Februari 2012

Kamis, 01 Maret 2012

Surat Kecil


Kamu
seperti halnya cinta
: tak akan tiada.

— 10 Januari 2012 —