Jumat, 24 Juni 2022

Rembulan Ganda


tak seperti biasanya
ada dua bulan malam ini
satu berwarna merah muda
satu lagi biru tua.
bulan yang biasa muncul 
lagi nongkrong di alun-alun, 
makan sate sosis, naik becak cinta,
dan nonton kitiran.
sudah lama ketiga bulan bergantian jaga
tapi jadwal mereka kadang-kadang bentrok.
jika sudah begitu, 
ada lebih dari satu bulan
muncul di langit kota.
sayangnya, orang-orang di bawah sana
terlalu sibuk untuk mengangkat wajah.
mereka tak menyadari
ada berapa bulan malam ini.
mereka juga tak tahu
masih adakah bulan di langit.
masih adakah langit?

(Sabtu, 18 Juni 2022)

Mati Lampu


saat listrik tiba-tiba padam
tak ada pemandangan 
yang lebih menenteramkan
dari lilin yang dinyalakan
abang-abang gerobak kaki lima.
terangnya seteduh kunang-kunang
di kampungku yang jauh.
para tetangga berkumpul di luar rumah.
berbincang, bergunjing, dan mengeluh,
atau sekadar menyalakan rokok.
anak-anak girang bermain di halaman
atau tantrum bergulingan.
aku berdiri di depan pintu 
memandang langit yang dicerahkan
bintang-bintang yang selama ini
disembunyikan lampu jalan.
karena tak berhasil mengenal rasi, 
aku menciptakan dongengku sendiri
tapi malah menemukan wajahmu di sana.
di mana-mana.
lampu dari motor yang melintas
membuatku menyadari 
gerimis yang turun tipis-tipis.
ah, nasi gorengku sudah jadi. 
makasih. dua ribunya kerupuk saja ya, bang.
enggih, mas.
di dekat jendela aku menyantapnya.
semoga lampu tak cepat-cepat menyala
dan hujan turun lebih deras.

(Jumat, 17 Juni 2022)

Kakek dan Cucu


pada suatu sore yang nahas
bumi yang lelah berputar
tersandung kakinya sendiri.
     bumi punya kaki, kek?
o, tentu punya, liliku sayang.
kalau enggak punya, dengan apa
dia mengelilingi matahari?
     kata guru, bumi itu bulat, 
     enggak punya tangan dan kaki.
ya, gurumu benar. tapi ini lebih dari benar.
     ya sudah, deh, terserah kakek saja. 
     terus, apa yang terjadi saat bumi terpeleset?
karena bumi enggak bisa berdiri lagi
malam jadi berlangsung lama.
lama sekali.
     lama banget ya, kek?
lamaaaaa banget.
tapi syukurlah ada gadis kecil yang kuat
tebak siapa namanya.
     lili!
ya, kamu benar. aku tuh heran
bisa-bisanya kamu menebak 
dengan tepat setiap tebakan kakek.
     heh heh heh. lalu, lili bisa bangunin bumi lagi?
bisa dong. soalnya lili kuat.
dengan kelembutannya, dia membantu bumi.
     kuat kok lembut, kek?
ih, nyanggah terus ya, kamu. 
jadi enggak habis-habis ceritanya.
     heh heh, kuat kok lembut, kek?
enggak ada yang lebih kuat dari kelembutan.
akhirnya, dengan bantuan lili
bumi bisa berdiri lagi.
setelah berterima kasih
kepada lili kecil yang manis
hal pertama yang dia lakukan 
adalah menari
berputar berputar putar dan putar.
karena lili kecilku itu,
matahari jadi terbit lagi
menghiasi hari-hari
yang gelap.

(Sabtu, 18 Juni 2022)

Sabtu, 18 Juli 2015

Sebuah Puisi yang Aku Bayangkan Ketika Berdiri di Depan Palang Kereta dan Melihat Perempuan Manis Tengah Berteduh di Seberang Tempatku Berdiri


saat kereta berhenti bergulir
apakah perempuan itu masih di sana?
aku ingin berkenalan dan meminta nomor ponselnya.

__

(puisi ini, aku tak tahu ditulis tahun berapa, namun sepertinya sudah lama—hehe. terselip begitu saja di buku harian. aku juga sudah lupa siapa perempuan yang menjadi inspirasinya.)

Batanghari


sudah berapa rembulan, lampu kota itu, kautemukan ketika berdiri di sini
di sisi jembatan, sementara matamu memandang jauh ke seberang
menikmati pemandangan pada sepertiga malam
dan  menghitung semua hal yang tak kaumiliki, sembari sesekali berkaca pada langit
merindukan masa kanak yang telah pudar disembunyikan cuaca.

kelak, ketika usia tua datang, maukah kau menemaniku di sini
bersandar pada railing jembatan, dan sekali lagi mengulang kenangan
lalu bersisian di tengah keriuhan kota sambil membawa jagung bakar
juga segelas es kelapa, yang dulu sangat kau suka
meskipun kita sudah tak saling mengenal
dan melupakan nama-nama yang pernah akrab menemani masa-masa
sebelum luka.

Sabtu, 4 Juli 2015

Mengenang Tahun 2008


i.              kfc stasiun kota
kau bersorak, akhirnya!
ketika jendela dipenuhi kabut
dari gerimis pertama yang luruh
sejak kedatangan kita beberapa hari lalu.
aku tertawa memandangimu.
padahal toh hujan sama saja di semua kota,
bahkan di kampung halaman kita. tiada beda.
jelas lain, katamu, ini ibukota.
kaupamerkan gigi-gigi yang berbaris rapi dalam sebait senyuman
tak lupa mengacungkan jari telunjuk dan tengah berbarengan
sembari berkata, peace—meskipun yang kudengar malah please.

kau mengajakku duduk di dekat rel dan memilih satu di antara sederet bangku
lalu bersandar di bahuku, dan melamun memandangi langit yang pucat.
aku juga. tertegun merenungi kerikil yang tergenang air hujan
di antara jalan kereta ia terendam dan kasat.

bagaimana ya, rasanya menanti sesuatu yang mungkin
tak kan pernah datang?—tanyamu tiba-tiba.
aku diam saja, tak tahu harus menjawab apa.

ii.            di kereta
di kereta, selagi aku
khusyuk merenungkan gumammu,
kau asyik mendengarkan
lagu-lagu di walkman.
iwan fals, atau dewa 19?—aku menebak-nebak.

kau duduk bersandarkan kaca jendela,
membiarkan dingin menyentuh pelipismu,
lalu tersentak
ketika kereta api lain lewat dari arah yang berlawanan.
aku tertawa.

tahukah kau, sampai sekarang pun,
aku masih menyimpan tiket itu, terselip di antara buku
yang kubaca ketika kau terlelap di separuh perjalanan—
aku masih menyimpan seluruh pemandangan, kabut-kabut kelam,
geletar gerbong dideru lebatnya hujan, dan lampu-lampu yang
dinyalakan saat langit berubah merah.

sandaranmu pada bahuku, aroma sampo
dari rambutmu, harum parfum yang kaukenakan, juga suara samar yang
kudengar dari earphone di telingamu. semua itu, puisi
yang tak jenuh-jenuhnya kutangisi.

iii.           cinta kan membawamu kembali di sini
itu judul lagu kesukaanmu, bukan?
aku baru saja mendengarnya
dari bangku a-empat di sebuah gerbong kereta api.
kenangan yang tersimpan dalam
setiap denting piano
menjadi sejernih suara hujan,
saat melantunkan nada-nada senyap.

sudah lama
sejak kereta bergulir dari perhentian terakhir,
jendela yang menyimpan seluruh pertanyaan
tentang bagaimana-jika, masih menyajikan hamparan kelam
yang sama sepanjang berpuluh-puluh kilometer—
meskipun yang kulihat (dan kuingat) saat ini
hanya sepasang mata kecil di wajahmu.

kini, tak ada yang bisa diajak bicara.
tak ada yang bisa aku lakukan.

selain melepas earphone
dan bersandar pada pintu, berserah pada segala yang sementara,
lalu memilih kenangan mana
yang ingin kuajak serta
dalam ruang yang sunyi ini.

28052015

Jakarta Pukul 06.00 Pagi


Ketika Daun-daun Berguguran



waktu yang berputar lambat
dalam hari-hari penantian,
ternyata berlalu begitu cepat,
tanpa terasa, limabelas tahun sudah,
sejak terakhir kita bertemu.
saat itu,
dari jendela kereta yang mengantarku pergi,
aku melihatmu menangis,
sembari memaksakan senyum
yang kumohon terakhir kali.

surat cinta yang kauberikan
pada kencan pertama kita
masih kusimpan rupanya,
terselip di buku harian
bersama seluruh kenang
yang lama hilang.
saat membacanya, segalanya jelaslah.
bahkan detik ketika
ciuman satu-satunya
yang kaukecupkan di pipiku,
terasa bagai pelukan hangat
yang selamanya menjadi
bagian dari hatiku.

kini, yang tersisa hanyalah
kertas usang di tanganku,
juga selembar fotomu
di depan bangunan tua.
kadang, aku ingin memahami perasaanku
ketika mengenang jalan
yang dulu sering kita lalui.

namun, merenungi daun-daun
yang tersungkur karena lamur,
betapa terkejutnya aku, menyadari
aku tak tahu apa-apa tentangmu,
bahwa bagiku kau masih teman sekelas,
gadis kecil berusia tigabelas,
yang kusayangi dengan sungguh.

2007