i.
kfc stasiun
kota
kau bersorak, akhirnya!
ketika jendela dipenuhi
kabut
dari gerimis pertama yang
luruh
sejak kedatangan kita
beberapa hari lalu.
aku tertawa memandangimu.
padahal toh hujan sama saja di semua kota,
bahkan di kampung halaman
kita. tiada beda.
jelas
lain,
katamu, ini ibukota.
kaupamerkan gigi-gigi yang
berbaris rapi dalam sebait senyuman
tak lupa mengacungkan jari
telunjuk dan tengah berbarengan
sembari berkata, peace—meskipun yang kudengar malah please.
kau mengajakku duduk di
dekat rel dan memilih satu di antara sederet bangku
lalu bersandar di bahuku,
dan melamun memandangi langit yang pucat.
aku juga. tertegun merenungi
kerikil yang tergenang air hujan
di antara jalan kereta ia
terendam dan kasat.
bagaimana
ya, rasanya menanti sesuatu yang mungkin
tak kan
pernah datang?—tanyamu tiba-tiba.
aku diam saja, tak tahu
harus menjawab apa.
ii.
di
kereta
di kereta, selagi aku
khusyuk merenungkan gumammu,
kau asyik mendengarkan
lagu-lagu di walkman.
iwan
fals, atau dewa 19?—aku menebak-nebak.
kau duduk bersandarkan kaca
jendela,
membiarkan dingin menyentuh
pelipismu,
lalu tersentak
ketika kereta api lain lewat
dari arah yang berlawanan.
aku tertawa.
tahukah kau, sampai sekarang
pun,
aku masih menyimpan tiket itu,
terselip di antara buku
yang kubaca ketika kau
terlelap di separuh perjalanan—
aku masih menyimpan seluruh
pemandangan, kabut-kabut kelam,
geletar gerbong dideru
lebatnya hujan, dan lampu-lampu yang
dinyalakan saat langit
berubah merah.
sandaranmu pada bahuku,
aroma sampo
dari rambutmu, harum parfum
yang kaukenakan, juga suara samar yang
kudengar dari earphone di telingamu. semua itu, puisi
yang tak jenuh-jenuhnya
kutangisi.
iii.
cinta
kan membawamu kembali di sini
itu judul lagu kesukaanmu,
bukan?
aku baru saja mendengarnya
dari bangku a-empat di
sebuah gerbong kereta api.
kenangan yang tersimpan
dalam
setiap denting piano
menjadi sejernih suara hujan,
saat melantunkan nada-nada
senyap.
sudah lama
sejak kereta bergulir dari
perhentian terakhir,
jendela yang menyimpan
seluruh pertanyaan
tentang bagaimana-jika, masih
menyajikan hamparan kelam
yang sama sepanjang
berpuluh-puluh kilometer—
meskipun
yang kulihat (dan kuingat) saat ini
hanya
sepasang mata kecil di wajahmu.
kini, tak ada yang bisa
diajak bicara.
tak ada yang bisa aku lakukan.
selain melepas earphone
dan bersandar pada pintu,
berserah pada segala yang sementara,
lalu memilih kenangan mana
yang ingin kuajak serta
dalam ruang yang sunyi ini.
28052015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar