Sabtu, 18 Juli 2015

Mengenang Tahun 2008


i.              kfc stasiun kota
kau bersorak, akhirnya!
ketika jendela dipenuhi kabut
dari gerimis pertama yang luruh
sejak kedatangan kita beberapa hari lalu.
aku tertawa memandangimu.
padahal toh hujan sama saja di semua kota,
bahkan di kampung halaman kita. tiada beda.
jelas lain, katamu, ini ibukota.
kaupamerkan gigi-gigi yang berbaris rapi dalam sebait senyuman
tak lupa mengacungkan jari telunjuk dan tengah berbarengan
sembari berkata, peace—meskipun yang kudengar malah please.

kau mengajakku duduk di dekat rel dan memilih satu di antara sederet bangku
lalu bersandar di bahuku, dan melamun memandangi langit yang pucat.
aku juga. tertegun merenungi kerikil yang tergenang air hujan
di antara jalan kereta ia terendam dan kasat.

bagaimana ya, rasanya menanti sesuatu yang mungkin
tak kan pernah datang?—tanyamu tiba-tiba.
aku diam saja, tak tahu harus menjawab apa.

ii.            di kereta
di kereta, selagi aku
khusyuk merenungkan gumammu,
kau asyik mendengarkan
lagu-lagu di walkman.
iwan fals, atau dewa 19?—aku menebak-nebak.

kau duduk bersandarkan kaca jendela,
membiarkan dingin menyentuh pelipismu,
lalu tersentak
ketika kereta api lain lewat dari arah yang berlawanan.
aku tertawa.

tahukah kau, sampai sekarang pun,
aku masih menyimpan tiket itu, terselip di antara buku
yang kubaca ketika kau terlelap di separuh perjalanan—
aku masih menyimpan seluruh pemandangan, kabut-kabut kelam,
geletar gerbong dideru lebatnya hujan, dan lampu-lampu yang
dinyalakan saat langit berubah merah.

sandaranmu pada bahuku, aroma sampo
dari rambutmu, harum parfum yang kaukenakan, juga suara samar yang
kudengar dari earphone di telingamu. semua itu, puisi
yang tak jenuh-jenuhnya kutangisi.

iii.           cinta kan membawamu kembali di sini
itu judul lagu kesukaanmu, bukan?
aku baru saja mendengarnya
dari bangku a-empat di sebuah gerbong kereta api.
kenangan yang tersimpan dalam
setiap denting piano
menjadi sejernih suara hujan,
saat melantunkan nada-nada senyap.

sudah lama
sejak kereta bergulir dari perhentian terakhir,
jendela yang menyimpan seluruh pertanyaan
tentang bagaimana-jika, masih menyajikan hamparan kelam
yang sama sepanjang berpuluh-puluh kilometer—
meskipun yang kulihat (dan kuingat) saat ini
hanya sepasang mata kecil di wajahmu.

kini, tak ada yang bisa diajak bicara.
tak ada yang bisa aku lakukan.

selain melepas earphone
dan bersandar pada pintu, berserah pada segala yang sementara,
lalu memilih kenangan mana
yang ingin kuajak serta
dalam ruang yang sunyi ini.

28052015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar