Sebuah
janji yang dibuat seiring kita tumbuh bersama
Begitu
tulus
Satu
hal yang tak bosan-bosannya kubicarakan denganmu
Saat
itu aku sudah tidak bisa mengatakan
adakah
kau seorang sahabat
atau
cintaku yang terlewat
— Jay Chou (Dandelion Promise)
Ketika kebetulan lalu, aku
mampir ke rumahku yang dulu, di sebuah perumahan yang sudah tak dihuni lagi,
entah karena apa, senja masih tak berubah, begitu pun daun-daun yang mengering
di sepanjang jalur setapak, yang menimbulkan suara kerpas kerapkali kakiku menginjaknya.
Memasuki kamar ini, kukenangkan kembali, bagaimana dulu, bertahun-tahun lalu,
dari jendela yang sama aku menatap seorang perempuan kecil berjalan sendiri di
seberang jalan. Tepat di bawah mataku, ia kan berhenti dan menengadah sambil
melambaikan tangan, menyuruhku segera turun dan menemuinya, lalu bermain
bersama sepanjang sisa hari.
Begitulah. Aku selalu
mengenangnya dengan indah. Dia perempuan berperawakan kecil yang senyumnya
sejuk bagaikan lambaian malam sehabis hujan, matanya jernih embun sebening
subuh ketika tak ada apa-apa selain keheningan yang mendamaikan. Tanpa terasa,
lima belas tahun sudah sejak terakhir kami bertemu. Saat itu kami duduk di
kelas enam sekolah dasar, dan dia selalu mendahuluiku ketika kami berjalan
pulang. Tangannya erat memegang tas, kakinya berayun dengan langkah-langkah
ringan di jalan menurun menuju kompleks perumahan tempat kami tinggal. Rumah
kami berdekatan. Aku hanya harus mengikuti arah utara, lalu berbelok ke selatan
pada perempatan jalan.
Saat mengenangnya, aku
selalu melihat punggungnya terlebih dahulu, yang berjarak sekitar dua sampai
tiga langkah dariku, dan itu bagai sepatah fragmen yang singkat, di sebuah kaca
jendela. Sang anak laki-laki selalu bersabar mengikuti teman kecilnya sambil
sesekali memanggil namanya jika ia sudah terlalu jauh. Sang perempuan akan
terhenti sebentar dan memutar balik tubuhnya, melukiskan senyum termanis pada
wajahnya, lalu kembali mengayun langkah. Kadang mereka berjalan beriringan,
sambil membicarakan pelajaran di sekolah, atau tertawa mengingat tingkah guru
yang menggerutu tak jelas di dalam kelas. Lukisan itu begitu membiusku hingga
rasanya nyaris membuatku menangis.
Jalan menuju rumah kami
dipenuhi pepohonan rindang. Aku tak pernah memikirkan nama tumbuhan yang setiap
hari menemani langkah kecil kami, tapi ia tahu. Ia selalu mengetahui hal-hal
yang tak terduga dan kadang membuatku merasa sedih. “Itu pohon tanjung,”
katanya, pada suatu senja saat kami duduk bersisian di suatu taman. Ada bangku
kecil yang senantiasa kami gunakan sepanjang sore, sembari memandangi matahari
yang perlahan terbenam. Aku terkenang cita-cita lamaku. Aku ingin memandang
senja bersamanya, semusim dan semusim lagi.
Tempat ini, dulunya, selalu
dipenuhi anak-anak yang bermain bersama hingga maghrib menjelang. Tapi sekarang
pemandangan itu hanya menyisakan bentangan hening yang nyaris terlupakan.
Pepohonan yang tak terawat kini membelukar, janggutnya yang kelam nyaris
menyentuh tanah. Rumput-rumput yang tak terawat tumbuh menjadi setinggi lutut
dan membuat pemandangan yang dulu hijau dan teduh, menjadi sesak dan pucat,
mendekati suram. Hanya kicauan burung yang terdengar, juga langit yang tinggi
dan jauh, sedalam benih yang kini mengakar.
Masih begitu jelas dalam
ingatanku, lima belas tahun lalu, bila musimnya tiba, daun-daun yang berguguran
dari ranting pohon itu, akan menciptakan pemandangan yang menyerupai sihir.
Kami selalu takjub memandanginya. Dan dia akan membuat pigura dari ujung
telunjuk dan jempol pada tangan kanan dan kirinya, lalu tersenyum seolah puas
dengan potret yang ia ambil. Tetapi yang paling membuatku tenggelam adalah
lukisan lain yang tak pernah ingin kulupakan—senyumnya, matanya yang berwarna
jingga karena memantulkan guguran daun pada senja hari. Dia bisa membuatmu
merasa nyaman meskipun kalian tak sedang membicarakan apapun. Bersamanya, kau
tak kan merasa gugup ketika tak menemukan bahan percakapan. Bahkan, bila pun
yang tersisa hanyalah sunyi, itu adalah sunyi yang mendamaikan.
Kami bersahabat selama tiga
tahun. Aku adalah murid pindahan yang datang ke kota ini tanpa membawa seorang
pun teman. Ketika mengenalkan diri di kelas, di hadapan anak-anak kelas 3 SD,
tanganku begitu berkeringat dan kata-kata tak mampu keluar dari mulutku.
Kerongkonganku terasa bagai disesaki berton-ton udara. Aku ingin menangis, tapi
air mata tak jua keluar—atau mungkin aku saja yang tak menyadarinya. Akhirnya
aku hanya mengucapkan sepatah nama tak lengkap dan alamat cacat yang tak
kuingat, lalu duduk di sebuah bangku di mana hanya ada jendela dan aku sendirian.
Karena aku adalah murid
pindahan, ada jarak tak kasat mata antara teman-teman dan aku, yang membuatku
selalu merasa kesepian. Di jam istirahat, aku lebih sering menyendiri di sudut
kelas ketika teman-teman lain bermain di lapangan. Dan itu tak luput dari
matanya. Ia menghampiriku yang kesepian dan menjulurkan tangannya dengan
malu-malu. Pipinya merona merah bagaikan ada kunang-kunang yang berpijar lembut
di sana. Itulah hari pertama kami bertukar sapa.
Karena masih duduk di bangku
sekolah dasar, pertemanan antara anak perempuan dan laki-laki masih dianggap
tabu. Tapi saat itupun aku sudah menganggap bahwa ini adalah takdir yang indah,
bisa berkenalan dengan perempuan secantik dia. Kami menjadi bulan-bulanan di
kelas karena selalu terlihat berdua, nama kami sering ditulis oleh
tangan-tangan jahil di papan tulis, dan dipisahkan dengan sebuah hati. Aku
merasa bersalah. Tapi aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, aku tak
dapat menahan diri untuk tak bersamanya, dan ia pun tetap mau berteman denganku—dengan
segala rasa malu yang telah kusebabkan. Apakah itu cinta? Aku yang sekecil itu
takkan mampu menebaknya.
Saat mengetahui rumah kami
ternyata berdekatan, aku jadi lebih sering bermain bersamanya. Darinya juga aku
mengetahui bahwa rumahku dulunya adalah milik sepasang pekerja yang sekarang
tinggal di Ibukota, dan mereka memiliki anak perempuan yang seharusnya menjadi
teman sekelas kami tahun ini. Ada banyak taman di kompleks perumahan ini, yang
ukurannya tak begitu besar, tapi bisa menampung cukup banyak anak-anak. Juga
ada berbagai macam ruko di dekat kantor pemasaran—yang bisa dicapai dengan lima
belas menit berjalan kaki. Kami sering mengunjunginya, meskipun tak pernah
membeli apa-apa, selain semangkuk kembang tahu yang biasa mangkal di depan
rumah makan pempek.
Aku bersandar sejenak di
depan pintu sebuah toko yang sudah tak berfungsi lagi. Dari temboknya yang
pekat ditumbuhi lumut, juga dari warna yang kini pudar dihisap cuaca, aku
menyadari tempat ini sudah lama mati. Barangkali yang tersisa hanya kenangan,
atau getir kehilangan. Tetapi, merenungi jalan yang dulu begitu sering kami
lalui, seolah mengembalikan cahaya yang sempat pudar, menghangatkan rindu yang
bertahun-tahun, dibekukan waktu.
Aku memejamkan mata,
membiarkan semilir angin membawa kembali masa-masa yang jauh—wajahnya yang
kurindu, senyum kecilnya, jalan menurun yang selalu kami lewati setelah lonceng
sekolah berdentang, juga sebuah hati yang tak bosan-bosannya bertanya tentang
bagaimana-jika. Seperti apakah rupanya? Dalam relung renungnya, pernahkah
sekali saja ia teringat padaku? Kapan terakhir ia memikirkanku? Di mana dia
sekarang? Masih ingatkah ia padaku?— “Bahagiakah kau?”
Senja ini aku bermimpi.
Mimpi dari masa lampau yang
begitu jauh. Langit memancarkan warna laut yang memesona di bawah cahaya
jingga, matahari seolah pelukis yang menyapukan kuasnya di kanvas raksasa.
Ketika membuka kembali halaman-halaman lama itu, aku seperti menemukan buku
harian seorang anak kecil, yang setiap episode selalu diawali dengan “Hari ini
aku bertemu dengannya lagi, dan aku bahagia”. Ketika merenunginya,—jalan yang
dipenuhi sinar keemasan itu, masa lalu seolah menghampiriku dengan perlahan,
bagaikan daun-daun gugur yang tak pernah berubah meskipun rantingnya telah
patah berkali-kali.
Aku mencintaimu. Aku tak
ingat kapan pertama kali aku merasakannya. Apakah pada pertemuan kita
bertahun-tahun lalu, atau saat aku mengenangmu di tempat ini—saat ini, tapi aku
mencintaimu. Dan itu satu-satunya alasan aku berada di sini, di antara
reruntuhan kenangan ini. Tak peduli di manapun kau berada, aku akan selalu
mencintaimu.
Malam senyap. Tak ada suara
selain embusan angin yang memukul-mukul pepohonan juga segala yang dilaluinya.
Samar terdengar suara jatuh dan gesekan seng, dari atap rumah yang sudah tak
berpenghuni. Daun-daun masih berguguran. Cuaca yang mendadak dingin membuat
romaku berdiri. Pemandangan yang tadi begitu akrab di benak, kembali beku dan
asing.
Selamanya, kenangan adalah
cahaya yang tak pernah mewujud di manapun jua, selain di masa lalu. Tapi
pantulannya dapat menghangatkan jauh menembus batas waktu. Membuat segalanya
dipayungi keteduhan, meskipun terkadang menciptakan warna yang dipenuhi penyesalan.
“Sedang menyesali sesuatu?” sebuah suara mengejutkanku. “Dengan wajah semuram
itu, kau pasti tengah bersedih,” tambahnya lagi.
Aku
berpaling. Seorang perempuan tengah berdiri tepat di hadapanku. Aku yang tak
menyadari keberadaannya menera-nera sudah berapa lama ia di sana, menjaga
lamunanku? Hati-hati, ia ayunkan langkah, menolak menginjak daun-daun yang
berhamburan di sepanjang jalan. Setelah berada dua langkah di depanku, ia
bersihkan roknya, lalu mengambil tempat di sampingku, mengacuhkan aku yang
masih termenung memandangnya. Seperti mimpi. Ia mengenakan kemeja putih dan rok
berwarna hitam. Wajahnya polos tanpa riasan namun terlihat manis sekali. Ia tersenyum.
“Sudah lama, ya?” gumamnya.
Saat
pandangan kami bersitatap, ia tertawa, seolah kami baru saja bermain petak
umpet, dan ia menemukanku tengah bersembunyi di tempat yang sulit. Tapi
sepertinya memang begitu, sambil memeluk lututnya sendiri, ia menunduk
dalam-dalam, “Kau kemana saja?” bisiknya.
Aku
belum sempat menjawabnya ketika mendengar suara isak.
Rafael Yanuar
06072015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar