Sabtu, 18 Juli 2015

Cinta Pertama


Sebuah janji yang dibuat seiring kita tumbuh bersama
Begitu tulus
Satu hal yang tak bosan-bosannya kubicarakan denganmu
Saat itu aku sudah tidak bisa mengatakan
adakah kau seorang sahabat
atau cintaku yang terlewat

    Jay Chou (Dandelion Promise)

Ketika kebetulan lalu, aku mampir ke rumahku yang dulu, di sebuah perumahan yang sudah tak dihuni lagi, entah karena apa, senja masih tak berubah, begitu pun daun-daun yang mengering di sepanjang jalur setapak, yang menimbulkan suara kerpas kerapkali kakiku menginjaknya. Memasuki kamar ini, kukenangkan kembali, bagaimana dulu, bertahun-tahun lalu, dari jendela yang sama aku menatap seorang perempuan kecil berjalan sendiri di seberang jalan. Tepat di bawah mataku, ia kan berhenti dan menengadah sambil melambaikan tangan, menyuruhku segera turun dan menemuinya, lalu bermain bersama sepanjang sisa hari.

Begitulah. Aku selalu mengenangnya dengan indah. Dia perempuan berperawakan kecil yang senyumnya sejuk bagaikan lambaian malam sehabis hujan, matanya jernih embun sebening subuh ketika tak ada apa-apa selain keheningan yang mendamaikan. Tanpa terasa, lima belas tahun sudah sejak terakhir kami bertemu. Saat itu kami duduk di kelas enam sekolah dasar, dan dia selalu mendahuluiku ketika kami berjalan pulang. Tangannya erat memegang tas, kakinya berayun dengan langkah-langkah ringan di jalan menurun menuju kompleks perumahan tempat kami tinggal. Rumah kami berdekatan. Aku hanya harus mengikuti arah utara, lalu berbelok ke selatan pada perempatan jalan.

Saat mengenangnya, aku selalu melihat punggungnya terlebih dahulu, yang berjarak sekitar dua sampai tiga langkah dariku, dan itu bagai sepatah fragmen yang singkat, di sebuah kaca jendela. Sang anak laki-laki selalu bersabar mengikuti teman kecilnya sambil sesekali memanggil namanya jika ia sudah terlalu jauh. Sang perempuan akan terhenti sebentar dan memutar balik tubuhnya, melukiskan senyum termanis pada wajahnya, lalu kembali mengayun langkah. Kadang mereka berjalan beriringan, sambil membicarakan pelajaran di sekolah, atau tertawa mengingat tingkah guru yang menggerutu tak jelas di dalam kelas. Lukisan itu begitu membiusku hingga rasanya nyaris membuatku menangis.

Jalan menuju rumah kami dipenuhi pepohonan rindang. Aku tak pernah memikirkan nama tumbuhan yang setiap hari menemani langkah kecil kami, tapi ia tahu. Ia selalu mengetahui hal-hal yang tak terduga dan kadang membuatku merasa sedih. “Itu pohon tanjung,” katanya, pada suatu senja saat kami duduk bersisian di suatu taman. Ada bangku kecil yang senantiasa kami gunakan sepanjang sore, sembari memandangi matahari yang perlahan terbenam. Aku terkenang cita-cita lamaku. Aku ingin memandang senja bersamanya, semusim dan semusim lagi.

Tempat ini, dulunya, selalu dipenuhi anak-anak yang bermain bersama hingga maghrib menjelang. Tapi sekarang pemandangan itu hanya menyisakan bentangan hening yang nyaris terlupakan. Pepohonan yang tak terawat kini membelukar, janggutnya yang kelam nyaris menyentuh tanah. Rumput-rumput yang tak terawat tumbuh menjadi setinggi lutut dan membuat pemandangan yang dulu hijau dan teduh, menjadi sesak dan pucat, mendekati suram. Hanya kicauan burung yang terdengar, juga langit yang tinggi dan jauh, sedalam benih yang kini mengakar.

Masih begitu jelas dalam ingatanku, lima belas tahun lalu, bila musimnya tiba, daun-daun yang berguguran dari ranting pohon itu, akan menciptakan pemandangan yang menyerupai sihir. Kami selalu takjub memandanginya. Dan dia akan membuat pigura dari ujung telunjuk dan jempol pada tangan kanan dan kirinya, lalu tersenyum seolah puas dengan potret yang ia ambil. Tetapi yang paling membuatku tenggelam adalah lukisan lain yang tak pernah ingin kulupakan—senyumnya, matanya yang berwarna jingga karena memantulkan guguran daun pada senja hari. Dia bisa membuatmu merasa nyaman meskipun kalian tak sedang membicarakan apapun. Bersamanya, kau tak kan merasa gugup ketika tak menemukan bahan percakapan. Bahkan, bila pun yang tersisa hanyalah sunyi, itu adalah sunyi yang mendamaikan.

Kami bersahabat selama tiga tahun. Aku adalah murid pindahan yang datang ke kota ini tanpa membawa seorang pun teman. Ketika mengenalkan diri di kelas, di hadapan anak-anak kelas 3 SD, tanganku begitu berkeringat dan kata-kata tak mampu keluar dari mulutku. Kerongkonganku terasa bagai disesaki berton-ton udara. Aku ingin menangis, tapi air mata tak jua keluar—atau mungkin aku saja yang tak menyadarinya. Akhirnya aku hanya mengucapkan sepatah nama tak lengkap dan alamat cacat yang tak kuingat, lalu duduk di sebuah bangku di mana hanya ada jendela dan aku sendirian.

Karena aku adalah murid pindahan, ada jarak tak kasat mata antara teman-teman dan aku, yang membuatku selalu merasa kesepian. Di jam istirahat, aku lebih sering menyendiri di sudut kelas ketika teman-teman lain bermain di lapangan. Dan itu tak luput dari matanya. Ia menghampiriku yang kesepian dan menjulurkan tangannya dengan malu-malu. Pipinya merona merah bagaikan ada kunang-kunang yang berpijar lembut di sana. Itulah hari pertama kami bertukar sapa.

Karena masih duduk di bangku sekolah dasar, pertemanan antara anak perempuan dan laki-laki masih dianggap tabu. Tapi saat itupun aku sudah menganggap bahwa ini adalah takdir yang indah, bisa berkenalan dengan perempuan secantik dia. Kami menjadi bulan-bulanan di kelas karena selalu terlihat berdua, nama kami sering ditulis oleh tangan-tangan jahil di papan tulis, dan dipisahkan dengan sebuah hati. Aku merasa bersalah. Tapi aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, aku tak dapat menahan diri untuk tak bersamanya, dan ia pun tetap mau berteman denganku—dengan segala rasa malu yang telah kusebabkan. Apakah itu cinta? Aku yang sekecil itu takkan mampu menebaknya.

Saat mengetahui rumah kami ternyata berdekatan, aku jadi lebih sering bermain bersamanya. Darinya juga aku mengetahui bahwa rumahku dulunya adalah milik sepasang pekerja yang sekarang tinggal di Ibukota, dan mereka memiliki anak perempuan yang seharusnya menjadi teman sekelas kami tahun ini. Ada banyak taman di kompleks perumahan ini, yang ukurannya tak begitu besar, tapi bisa menampung cukup banyak anak-anak. Juga ada berbagai macam ruko di dekat kantor pemasaran—yang bisa dicapai dengan lima belas menit berjalan kaki. Kami sering mengunjunginya, meskipun tak pernah membeli apa-apa, selain semangkuk kembang tahu yang biasa mangkal di depan rumah makan pempek.

Aku bersandar sejenak di depan pintu sebuah toko yang sudah tak berfungsi lagi. Dari temboknya yang pekat ditumbuhi lumut, juga dari warna yang kini pudar dihisap cuaca, aku menyadari tempat ini sudah lama mati. Barangkali yang tersisa hanya kenangan, atau getir kehilangan. Tetapi, merenungi jalan yang dulu begitu sering kami lalui, seolah mengembalikan cahaya yang sempat pudar, menghangatkan rindu yang bertahun-tahun, dibekukan waktu.

Aku memejamkan mata, membiarkan semilir angin membawa kembali masa-masa yang jauh—wajahnya yang kurindu, senyum kecilnya, jalan menurun yang selalu kami lewati setelah lonceng sekolah berdentang, juga sebuah hati yang tak bosan-bosannya bertanya tentang bagaimana-jika. Seperti apakah rupanya? Dalam relung renungnya, pernahkah sekali saja ia teringat padaku? Kapan terakhir ia memikirkanku? Di mana dia sekarang? Masih ingatkah ia padaku?— “Bahagiakah kau?”

Senja ini aku bermimpi.

Mimpi dari masa lampau yang begitu jauh. Langit memancarkan warna laut yang memesona di bawah cahaya jingga, matahari seolah pelukis yang menyapukan kuasnya di kanvas raksasa. Ketika membuka kembali halaman-halaman lama itu, aku seperti menemukan buku harian seorang anak kecil, yang setiap episode selalu diawali dengan “Hari ini aku bertemu dengannya lagi, dan aku bahagia”. Ketika merenunginya,—jalan yang dipenuhi sinar keemasan itu, masa lalu seolah menghampiriku dengan perlahan, bagaikan daun-daun gugur yang tak pernah berubah meskipun rantingnya telah patah berkali-kali.

Aku mencintaimu. Aku tak ingat kapan pertama kali aku merasakannya. Apakah pada pertemuan kita bertahun-tahun lalu, atau saat aku mengenangmu di tempat ini—saat ini, tapi aku mencintaimu. Dan itu satu-satunya alasan aku berada di sini, di antara reruntuhan kenangan ini. Tak peduli di manapun kau berada, aku akan selalu mencintaimu.

Malam senyap. Tak ada suara selain embusan angin yang memukul-mukul pepohonan juga segala yang dilaluinya. Samar terdengar suara jatuh dan gesekan seng, dari atap rumah yang sudah tak berpenghuni. Daun-daun masih berguguran. Cuaca yang mendadak dingin membuat romaku berdiri. Pemandangan yang tadi begitu akrab di benak, kembali beku dan asing.

Selamanya, kenangan adalah cahaya yang tak pernah mewujud di manapun jua, selain di masa lalu. Tapi pantulannya dapat menghangatkan jauh menembus batas waktu. Membuat segalanya dipayungi keteduhan, meskipun terkadang menciptakan warna yang dipenuhi penyesalan.

“Sedang menyesali sesuatu?” sebuah suara mengejutkanku. “Dengan wajah semuram itu, kau pasti tengah bersedih,” tambahnya lagi.

Aku berpaling. Seorang perempuan tengah berdiri tepat di hadapanku. Aku yang tak menyadari keberadaannya menera-nera sudah berapa lama ia di sana, menjaga lamunanku? Hati-hati, ia ayunkan langkah, menolak menginjak daun-daun yang berhamburan di sepanjang jalan. Setelah berada dua langkah di depanku, ia bersihkan roknya, lalu mengambil tempat di sampingku, mengacuhkan aku yang masih termenung memandangnya. Seperti mimpi. Ia mengenakan kemeja putih dan rok berwarna hitam. Wajahnya polos tanpa riasan namun terlihat manis sekali. Ia tersenyum. “Sudah lama, ya?” gumamnya.

Saat pandangan kami bersitatap, ia tertawa, seolah kami baru saja bermain petak umpet, dan ia menemukanku tengah bersembunyi di tempat yang sulit. Tapi sepertinya memang begitu, sambil memeluk lututnya sendiri, ia menunduk dalam-dalam, “Kau kemana saja?” bisiknya.

Aku belum sempat menjawabnya ketika mendengar suara isak.

Rafael Yanuar
06072015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar