Selasa, 26 Oktober 2010

Secarik Surat


… secarik surat sama halnya serecik jernih air – sangat menyegarkan …

SEBELUM lahir internet, banyak orang menggunakan merpati pos untuk menyampaikan pesan. Entah berupa pesan penting atau tulisan rindu anjangsana, semua digulung dan dipercayakan pada capit kukunya – dan, aku seringkali bertanya, bagaimana bisa merpati menemukan alamat dengan tepat?

Tentu, karena kepak sayap merpati tak secepat internet, sampainya surat membutuhkan waktu beberapa hari, minggu, atau bahkan tahun. Semua dilakukan untuk sekadar mendapatkan informasi dan balasan kerinduan kekasih – romantis, bukan?

Surat-surat tersebut, entah sampai atau tidak, merupakan bukti usaha manusia untuk bisa berkomunikasi. Dan, sebuah surat, kendati memerlukan cukup lama waktu, mungkin cara paling efektif untuk mengabadikan jumpa. Menunggu surat meluncur ke kotak pos – sebelum kita mengambil dan membukanya, adalah petualangan yang sangat menarik! Bagaimana mungkin lembaran kertas dapat menceritakan begitu banyak kisah dan senyuman? Adakah pernah terpikir betapa membahagiakannya menerima secarik tulisan seorang sahabat nun di sana, dan meresap aroma tinta yang masih samar tercium? Jika potret mengabadikan gambar, maka surat mengabadikan kata-kata – hingga di masa mana pun, kita bisa membuka dan membacanya kembali. Terlalu berlebihan bila aku menuliskan “mendekati keajaiban”, meski itulah yang kurasakan saat menuntas penantian kala membaca surat tepat di depan kotak pos.

Tulisan tangan dapat menularkan kehangatan – yang lebih jujur dan lenak kala dibaca. Tapi, semakin mudah komunikasi, surat tertinggalkan dan berakhir menjadi alat transaksi. Sayang sekali, kukira. Aku juga terlarut dalam kesibukan kekinian, hingga melupakan kerepotan menulis surat, apalagi merangkum kata-kata, membeli perangko hingga memercayakan pak pos untuk mengirimkannya. Aku lebih memilih e-mail sebagai media yang jauh lebih praktis, cepat, dan efisien dibanding menulis berlembar-lembar surat. Apalagi dengan hadirnya berbagai jejaring sosial macam Facebook dan Twitter, yang mempermudah komunikasi dan menemukan sahabat-sahabat baru, maka semakin jauhlah surat tenggelam (meski aku belum punya akun Twitter atau Facebook).

Ada gejolak untuk kembali menulis surat – dan bila kutemukan semangat lawasku, aku ingin kembali ke masa di mana surat masih menjadi teman penting untuk bersapa akrab kala jauh.

Tapi, di zaman serba praktis ini, masih adakah yang mau menyempatkan (baca: menyibukan) diri untuk menulis surat barang secarik? Sekadar saling mengenal lewat tulisan, bukan ketikan, melainkan bukti bahwa semangatmu turut terbawa lewat tinta dan aroma kertas. Tentu saja, tak ada penggabungan huruf dan angka untuk mengeja / menyingkat kalimat =)

Bagaimana, pengalaman yang sungguh-sungguh menyenangkan, bukan?


--- Sepucuk Senja

Sepucuk senja tumpah
menjadi tinta
melebur dalam kertas-kertas – jelma puisi tentang
kerinduan
kemudian diam
sampai malam menuangkan relungnya
pada dunia.

Sepucuk lain jatuh
melebur buih-buih
lalu menghilang ditelan kelam
, pun
tak berbekas apa.

Kecuali
kenangan

Rafael Yanuar (25 Oktober 2010)

Kata-kata tak penah abadi, karena itu aku menuliskannya.

2 komentar:

  1. Hmmm surat ya... Aku dulu sempat seneng surat menurat sampai pingin banget punya sahabat pena. Tapi akhirnya surat2an ama sepupuku^^
    Tapi kalo sekarang... Udah agak males juga, secara gak ada yang mau disuratin :)
    Satu fakta yg mencengangkan: ternyata masih ada orang yang kuat menahan godaan facebook ;)

    BalasHapus
  2. Flo, menarik sekali jabaranmu. Aku juga pernah berbincang hal ini dengan seorang kawan. Kami sama2 menggemari masa2 tempo dulu. Saat internet belum lahir ke dunia. Lalu kami berangan2 bagaimana yah rasanya hidup di era 60an-80an? Pastinya manusia lebih memiliki awareness terhadap sesamanya, lebih sering bersosialisasi ketimbang mahluk2 modern jaman sekarang, hihih.
    Aku sedang emncoba puasa facebook loh heheh, karena aku pikir apa gunanya juga sih ngabisin waktu berjam2 hanya untuk memposkan sepatah dua patah kata yang kadang2 hanya berupa omong kosong? Ah aku jadi penganut anti-facebook sekarang, namun akunku masih kusimpan cuma sebagai pengaman saja :).
    have a nice day!

    BalasHapus