ketika
pada suatu malam, matamu terpejam, adakah di hatimu terbayang, di sini, sebuah jiwa,
ingin selalu dekat—meskipun kini sulit bagi kita tuk sekadar bertukar sapa? sekarang,
bahkan dalam mimpi pun kita tak selalu di-izinkan bertemu. padahal dulu kau
begitu dekat, senyummu terasa biasa saja saking seringnya di ruang depan aku
lihat.
kamarmu
selalu berantakan, seperti kapal pecah, kadang pakaian kerjamu dibiarkan begitu
saja di permukaan kasur, dan segala macam parfum dan kosmetik kau biarkan
membekas di ujung sprei. aromanya bercampur baur namun terasa akrab dan manis
sekali. lucunya, kau hanya bergumam ketika kakakmu menyuruhmu merapikannya. lihatlah,
rumah jadi teramat hampa, dan tempat tidurmu terlalu putih dan kosong, seolah
ada jurang, mengaga dekat jantungku.
entah
kapan aku mampu terbiasa tanpamu, bagaimana jika di suatu kelak aku terbenam
terlalu dalam di lubuk duka dan melupakan seluruh kenang bahagia? kini, bila berjalan
di senyapnya kota, seluruh langkah seperti ingin temukan bayangmu, sejauh
pandang tak henti mencari wajahmu. ingin sekali aku ingkari, dan meyakini, kau
belum tiada, kau hanya pergi sementara saja. namun tak bisa, tak mungkin bisa, rindu
terus menyadarkan aku, jarak kita kini jauh, tak tertempuh, sebesar apapun
langkah terayun.
kenapa
rinduku bisa begini sarat? padahal jarang sekali kita bertukar sapa. lalu,
kepada siapa aku harus tumpahkan tangis? sebab kau tak sempat menyisakan
apa-apa, selain lirih puisi di sudut sunyi, di mana setiap suara hanyalah gema,
bukan engkau.
bukan
lagi.
tak
lagi.