Senin, 17 Mei 2010

Memeluk Hujan


Tersebutlah di sebuah desa, tinggal seorang pengelana tak bernama. Yang selalu membawa peta di tangan kirinya dan kompas di tangan kanannya. Di pundaknya terikat gitar yang selalu ia mainkan saat malam terang bulan. Orang-orang desa kerap memanggilnya Si Pengelana.

Suatu malam, di depan muara di tengah taman bambu, bersama kodok-kodok ia pun bersinggah. Setelah meletakan kompas-petanya, ia memetik gitar dan menyanyikan lagu tentang cinta. Perlahan dari rimbun sesemak, kunang-kunang menyembul ke tengah mereka. Pengelana tersenyum sambil terus menyanyi, lalu berjalan mengelilingi tepi muara. Seusai satu lagu ia menyelupkan tangannya, mengambil setangkup tirta untuk kemudian ia reguk. Di atas batu, ia merenung sejenak berhela, rembulan tertutup awan.

Dulu, saat pengelana kali pertama singgah di desa, ia bertemu seorang gadis secantik aurora. Pengelana sedang memetik gitarnya kala itu dan si gadis menari seiring nyanyian. Gemulai gerakannya hadirkan getar jemari.

‘Senang rasanya ada temanku di sini,’ ucap si gadis. Pengelana yang baru datang ke muara tersenyum, ‘kau sering kemari?’

‘Setiap terang bulan, aku harus mengirimkan sepucuk surat untuk Sahabatku.’

Dicumbu kehangatan angin malam, mereka bercengkerama hingga terlupa. Seperti benih kasih yang tumbuh tanpa ditanam, seperti pula perasaan hangat bergenggam cinta, mereka pun saling jatuh di selaksa rasa. Namun Pengelana harus melanjutkan perjalanan seketika pagi membuka hari, ia pun berjanji akan kembali.

Setelah mengucap ‘selamat tinggal’, Pengelana tak lagi terlihat. Sang gadis menunggunya sambil menunduk mengair mata. Tetapi yang ia temui hanya sepucuk daun dan kunang-kunang yang tak seterang dulu. Hingga suatu hari, saat hujan merinai, ia terkapar. Esoknya ia ditemukan tak bernyawa di muara itu.

Lima tahun berselang, Pengelana kembali ke desa dan membeli sebilik rumah di dekat muara. Dan dengan penuh harapan ia pergi menemui cintanya yang hilang. Namun kerap kali mengunjungi muara, tak pernah gadis itu terlihat.

Tanpa tahu apa yang terjadi, ia pulang sambil tersenyum. Berbisik dalam hati, menatap rembulan di kejauhan, dan berkata ‘esok pasti ia datang.’

Di atas sana, awan menangis dan menurunkan hujan.

Ditulis oleh Rafael Yanuar (Mei 2010)

1 komentar:

  1. Heee... sad ending T_T
    Tapi bagus kk, bagus.
    Saya suka, Kek dongeng!

    BalasHapus