Selasa, 01 Juni 2010

Arah


Aku akan menceritakan padamu, tentang seorang pengelana yang tunduk hatinya pada keputusasaan. Yang setiap harinya selalu dirudung pilu, bertudung ragu dan penyesalan. Ketika kau bertanya siapa ia, maka bermulalah ceritera ini:

Tersebutlah nun di sana, seorang pengelana hendak pergi untuk mengejar mimpinya. Sebelum keberangkatan, gurunya berpesan agar ia tak tersesat, karena keagungan tak dapat ditemui di tempat lain. Dan apabia tersesat, mustahil ia dapat kembali. Maka dipegangnya teguh amanat guru.

Ketika awan memeluk tidur, perjalanan pun dimulai. Saat itu, matahari tengah dini dipagari pepohon willow dan angin utara yang melambai daunan siprus. Sang Pembesar Jiwa memberkati kesehatannya, hingga pandang matanya senantiasa tertuju mulia.

Kini, telah ia temui tempat yang tinggi dan rendah, gurun dan pematang sawah, hingga padang ilalang, laut dan pemuncak gunung. Namun tak ia temui pencariannya. 'Di manakah dataran luas tempat harta yang kucari ditanam?' ia bertanya pada sesiapa. Tanpa disadari, matahari tengah condong tenggelam.

Tahun berlalu. Pengelana duduk di tepi muara di sebuah desa dan menyadari ketersesatannya. Sepanjang hari ia menangis. 'Guru, aku menyesal,' rapalnya dalam hati berkali-kali. Ketika itu, seorang tua mendatanginya. Melihat wajah galau pengelana, ia bertanya, 'Adakah yang kau sesali, anak muda?'

'Aku tersesat, menderitalah aku!' ujarnya.

'Aku melihatmu bagai seekor tupai yang menangis terbeban emas di-punggung. Seperti seorang berputus asa pada harapan tak hingga. Kau tak akan mati kehausan di tengah aliran sungai nan jernih, yang airnya bahkan bisa menyembuhkan. Maka tengoklah apa yang telah kau raih,' ujar kakek disampingnya.

'Aku di sini, di lembah kematianku sendiri,' ucap pengelana.

Kakek itu tetap menemaninya, meski pengelana tak hendak berbuat apapun. Ia tetap tunduk pada keputusasaan, menghabiskan harinya dengan menangis dan menepuk-tepuk dada. Pengelana tak tahu, tempatnya bersinggah adalah hal yang megah, pun begitu banyak yang bisa diperbuatnya di sana.

Namun yang paling membuatmu pedih adalah, bahwa ia tak pernah tahu, apa yang ditemukannya kini jauh lebih indah dari apa yang dicarinya dahulu.

Ditulis oleh Rafael Yanuar (26 Mei 2010)

6 komentar:

  1. "Keadaanku menyedihkan, sebab aku bahkan tidak tahu apa yang tidak aku ketahui" (St. Agustinus)

    Cerita yahng bagus kk! ini juga bikinan sendiri yah?

    BalasHapus
  2. @ Puri | Wah, jadi teringat novel Vita Brevis. Terima kasih, Puri :). Tepatnya bukan 'bikinan' tapi pengalaman pribadi. Ahaha.

    BalasHapus
  3. halo Yanuar,

    terima kasih sudah berkunjung ke negeri ajaib.
    gantian aku berkunjung membaca2 di sini yaa.

    salam sastra,
    Ingrid

    BalasHapus
  4. @ Malaikat Kecil | Ah, kejutan ! Selamat datang di lapak sunyiku, Ingrid
    :D

    BalasHapus
  5. Wah, sudah baca ternyata...
    Baca "Codex Floriae" memang mesti didampingi dengan "Augustine's confession" nya biar lebih seru...

    Wah-wah... pengalaman pribadi?

    BalasHapus
  6. @ Puri:
    Sepertinya bisa menjadi pengalaman pribadi banyak orang :). Setelah dibaca, agak mirip dengan kisah pengemis yang sepanjang hidupnya mengemis. Ia tak tahu, bahwa kursi tempatnya duduk adalah harta sejarah yang mahal harganya. Tulisan mengenai pengelana sebenarnya sudah kutulis sejak tujuh / sepuluh tahun lalu, sebagai catatan harian yang disamarkan, kucoba memperbaiki perca-percanya agar lebih nyaman dibaca :).

    Augustine's Confession, sebuah pengakuan? Tapi, ketika manusia dihadapkan pada 'kesempurnaan', di mana dalam dirinya berkecamuk rasa, maka kebohongan pun dapat disamarkan menjadi 'mengarang-ngarang cerita'.

    BalasHapus