Selasa, 09 Agustus 2011

Gadis yang Menari di Tepi Senja



/1/

Sepulang kerja, aku duduk di bukit rumput, menikmati siraman cahaya matahari terbenam sambil membaca buku yang tadi kubawa. Seperti bertahun silam, senja di kotamu masih sama, tetap indah dengan cemerlang lembayung jingga, menjalin setiap momen menjadi melankolia.

“Langit membuka kanvas seksama menarik kuas – hasilnya pun demikian sempurna, senja begitu indah dan rupawan,” kau pernah bergumam, membangkitkan kenangan pada setangkup tanda perjumpaan kita.

Sebenarnya, aku menyukai senja sejak mengenalmu.

Saat itu, setelah disiram hujan seharian, langit kembali cerah, candhikala membingkai sayu matamu. Di taman, kau dan aku berjalan beriringan. Tak lama, kita pun menemukan tempat yang kering dan lapang. Aku menepikan sepeda dan mulai menggelar tikar. Di tanganmu, ada satu termos teh panas - pun sekantung kue dan dua buah gelas plastik. Aku ingat alasan kita memilih taman ini, senja yang begitu indah dan danau yang membentang di depan kita. Romantis.

Rupanya, kau juga membawa sekeranjang bungamu. Di dalamnya, ada beberapa bunga yang kukenal –mawar, anyelir, tulip, dan – “freesia,” ujarmu, saat aku melihat sekuntum bunga cerah warna, “bunga ini baru aku temukan minggu lalu, warnanya cerah dan beragam, konon, artinya kekanak-kanakan, tapi di satu buku lain juga berarti ketulusan.”

“Kau tahu, tidak, mengapa aku menyukai bunga?” tanyamu, aku melihat kau mulai menyusun bunga-bunga itu.

“Entahlah,” aku mengangkat bahu, “kupikir, aku tak perlu mencari alasannya,“ – meski sebenarnya aku sangat ingin tahu.

Kau tersenyum, “aku menyukai bunga, sebab ia tak abadi, seperti cinta – begitu mungkin dan sederhana. Ketika memandang bunga-bunga ini, aku seperti merasakan pengalaman yang ganjil dan menenangkan.” Kau menyandarkan diri di pundakku, tanganmu membentuk segitiga dan mulai menerawang, aku tak mampu menangkap apa yang kau lihat, “ah, seperti umur manusia,” katamu, dengan suara nyaris berbisik.

Barangkali senja semakin kemerahan, wajahmu begitu rona dan merekah. Sekilas kau menangis, kemudian tersenyum. Bahkan sebelum aku sempat mengusap airmata yang menitik di pipimu. Suasana menjadi canggung.

“Seandainya bisa, aku ingin membaca hatimu dengan segenap sepi yang aku alami sendiri. Aku sering melihatmu termenung, seakan-akan kesedihan begitu menguasaimu.”

Kau tertawa, “tahukah, seorang gadis bisa menuliskan puisi di lembar-lembar udara?”

“Bagaimana bisa?”

“Dengan tarian,” jawabmu, mantap, lalu berdiri dan membungkuk, seperti maestro memberi hormat pada penonton di panggung teater. Kau pun mulai berjinjit seimbang dan bergerak dengan ketukan asal. Pasti kau mengira itu tarian balet, meski gerakanmu seperti angsa yang sedang belajar berenang dengan sedikit improvisasi serupa putaran gasing. Satu kakimu diangkat, kemudian melompat-lompat sebelum kau merentangkan tanganmu sambil berputar-putar. Aku tertawa, “jika itu puisi, pastilah kacau sekali.” Kau cemberut lalu memukul kepalaku –wajah kita begitu dekat kala itu. “Tapi aku suka,” ujarku. Jujur.

Senja masih saja temaram, meski sudah pukul lima. “Senja selalu lebih lama jika datang setelah hujan reda –hei, lihat, ada pelangi!” kau menunjuk lengkung tujuh warna dengan bias cahaya di seberang angkasa, kemudian jatuh merupa bias di depan mata, cerlangnya memantul di kilau danau – “pelangi pelangi alangkah indahmu, merah kuning hijau di langit yang biru –“ lagi-lagi kau menari. Lagi-lagi aku harus menahan tawa melihat gerakan asalmu. Kau pandai menyanyi. Tapi jangan sambil menari.

“Suaramu bagus, aku ingin menciptakan lagu untukmu. Seandainya tadi aku membawa harmonika.”

Tapi kau menolaknya, “aku lebih senang jika kau menciptakan lagu untuk kau nyanyikan padaku –bukan untuk aku nyanyikan sendiri,” kau tersenyum dan mengerling. Perbincangan kita akan lama jika kudapan tak segera disantap. Kita bersulang –sebuah kenangan kembali tercipta, dan sekarang begitu manis tercecap.

Aku mengambil kamera dan menyuruhmu berpose. Kupikir aku bisa mendapatkan potret yang bagus senja itu. Tapi ada yang membuat jantungku berdegup lebih kencang – ketika melihatmu tersenyum dengan tangan terbuka seperti hendak memeluk.

Klik!

Best angle!”

“Kalau fotonya sudah jadi, aku minta satu ya?” ujarmu – sambil membereskan sisa-sisa makanan dan menggendong sekeranjang bunga yang tadi tergeletak di sebelah sepeda. “Aku boleh membeli bunganya satu?” kataku, sambil mengambil beberapa lembar rupiah. “Kali ini jangan gratisan, sebab bunga itu bukan buatku.”

Kau tersenyum dan mengambilkan setangkai mawar dengan secarik kertas sambil menyebutkan angka rupiahnya. “Mau kutuliskan puisi?” katamu seraya mengambil buku catatan puisimu, aku menolak, “tak apa, biar kutulis sendiri,” aku tersenyum, “tapi sepertinya aku lebih suka freesia.” Kau pun mengambilkan setangkai bunga berwarna kuning sambil menyerahkan pena dan kertasnya. Setelah menerimanya, aku langsung menulis beberapa kata dan melipatnya. Aku tersenyum, “ini buatmu.”

Kau terdiam. “Bunga dan sepatah kata ini –menjadi ungkapan perasaanku.” Pipimu merona –kali ini bukan karena rekahan jingga yang memantul, aku tahu.

Seketika maghrib mulai berkumandang, kita pulang sambil bergandeng tangan. “Kau tahu?” bisikmu, “senja ini, aku bahagia, sangat bahagia.”

Seketika langit menjadi begitu rekah.

/2/

Aku menutup buku puisimu.

Memang benar, tidak ada perjumpaan yang sia-sia, bahkan perjumpaan yang begitu singkat dapat meninggalkan kerinduan di benak kita. Sekilas, aku melihat matahari menyisakan sinar-sinar kemerahan di ujung danau, keindahannya masih ada dan nyata, meski aku tak dapat melihat wujudnya lagi. Telunjukku terus menggambar parasmu di lembar udara, sambil menangkap beberapa kenang yang tadi sempat hilang.

Angin menyapa dedaunan. Ranting-ranting menemukan musimnya. Aku berdiri, mengibas celanaku, membersihkannya dari bekas-bekas rerumputan. Sedang kenangan, kubiarkan luruh memenuhi sekujur baju yang kupakai. Senja semakin jauh meninggalkan taman itu.

Seketika malam meninggi, gerimis melintas, lampu kota mulai dinyalakan. Aku melihat kerlipnya, begitu lata dan menusuk. Teringat kembali pertemuan kita, kala kata-kata masih belia. Saat itu, segalanya begitu lancar tertulis.

Senja temaram dan rona di wajahmu, menjadi pertanda
aku sadar sedang jatuh cinta
padamu


–dan hingga kini, aku masih merindukanmu.

/3/

SENJA TEMARAM DAN AKU JATUH CINTA

Ranum musim di taman kota, tak pernah bisa menguraikan
betapa senja, telah membuatku jatuh cinta.
Aku jatuh cinta
: pada rekah senyuman
di sela-sela kenangan penuh bunga.

Saat itu, kita saksikan matahari terbenam di tepi danau.
Hujan reda, waktu berdetak bagai bunyi tonggeret di pohon mahoni.
Kita terkesima…
pada senja berkabut
daun-daun dan rerumputan mulai berembun.

Kini, segalanya tampak begitu sederhana
rindu telah menemukan rumahnya
sepi tak lagi menumbuhkan luka.
Aku tahu, dalam setiap ihwal yang kubaca senja itu
aku terpukau.
Sebab waktu seolah sungai yang kembali ke hulu
jiwaku akan lahir sebagai puisi
melebihi kesunyian doa-doa rindumu.

Namun, bagiku

: kau bahkan melebihi, segala sajak musim semi.

Rafael Yanuar (13 Juli 2011)


Candhikala: Guratan jingga senjakala

2 komentar:

  1. Rabalah jantungku seakarang jika kau masih mampu!
    Rasakanlah ia sudah melebur oleh lengan-lengan puisimu ini!

    Mas,
    jika kau membangunkanku nanti,
    bukalah kelopak mataku perlahan, dan tiupi sebaris doa disana!
    agar kukuh keyakinanku; kita memang sedang berada di surga aksara

    BalasHapus
  2. Terima kasih banyak, Kang, sudah mampir dan meninggalkan jejak. Aku jadi malu sendiri baca jawabanmu. Ini pertama kalinya aku menulis cerpen (sebenarnya bukan pertama kali, dulu di sekolah juga pernah dapat tugas serupa, tapi kan beda, ahak hak hak). Senangnya bisa dinikmati =).

    BalasHapus