Senin, 22 Agustus 2011

Lampu Kota


Dua kelingking yang bertautan, punya debar yang lebih abadi, dari janji itu sendiri.
- Disa Tannos

/1/

Suatu malam di bulan Agustus. Langit hening. Kita berjalan menyusuri sepanjang sisi kota, berdua. Setelah lama hanya dapat melihatnya di layar kaca, akhirnya kita sampai juga di sini, di kota Jakarta. Bintang tak tampak, pun dia, dewi purnama. Tapi malam demikian mesra menyentuh benak kita.

Perlahan, aku menggenggam tanganmu. Kita turut merasakan nadi kehidupan Ibu Kota, dan menyaksikan denyut kesibukan yang melingkupinya. Gedung-gedung berdiri di sisi kiri dan kanan jalan, malam bermandi cahaya. Kita, yang sehari-harinya hidup di desa kecil, selalu takjub setiap kali berdiri di kota besar.

"Kau tahu," bisikmu, "mengapa lampu jalan selalu menghadap ke bawah?" Kau menunjuk beberapa lampu yang berdiri di dekat jembatan penyeberangan.

Aku melihatnya. "Karena memang dirancang demikian," kataku.

"He-he, ada hal lain," kau melepaskan genggamanku dan meletakkan tanganmu di belakang punggungmu. Aku selalu suka mendengar kata-katamu. Sederhana, namun mengena.

Kau menatapku - selalu begitu setiap kita bicara, "tahukah, lewat lampu kota, manusia ingin mencipta bintang," kau menunduk, memandang pantulan cahaya di bawahmu, sambil berjalan, "bintang kecil nan hangat, nan cerah, dan bersinar pada malam hari." Kau memainkan anak rambutmu, memilinnya dengan jemari, dan termenung.

"Pun," kau berkata lagi, "jika biasanya Tuhan menciptakan bahan dan manusia menjadikannya obat, kini terbalik."

"Terbalik?" tanyaku heran. Aku mulai tertarik dengan kata-katamu.

Kau mengangguk, "pernah tidak kau berpikir, bahwa lampu kota - ciptaan manusia, diolah Tuhan menjadi obat?" Matamu berbinar-binar.

Aku menggeleng, "mungkin setelah mendengar jawabanmu, aku akan berubah pikiran."

Kau tertawa dan menunjuk satu-satunya pohon di seberang jalan, daunnya sudah banyak berjatuhan di trotoar. Di belakangnya ada minimarket 24 jam dan seorang kakek penyapu jalan, sedang duduk di sebuah bangku tua. Semuanya bermandi cahaya.

"Lampu kota, telah diubah Tuhan menjadi penyembuh, bagi kesedihan dan kesunyian semua makhluk-Nya," katamu, "seperti cahaya, menyentuh kita dengan hangatnya. Sederhana."

Aku diam saja meresap kata-katamu. Terharu. Kau benar, terkadang, justru lewat hal-hal kecil, kita dapat mendekatkan hati pada Sang Pembesar Jiwa.

Aku membuka suara, "barangkali," bisikku, "ada satu hal lagi."

Kau melihatku.

"Lampu kota juga dapat meneduhkan sebuah pertemuan," aku tersenyum, membalas tatapanmu. "Sebab pendarannya serupa sayap yang menyentuh tubuh kita."

Aku kembali menggenggam tanganmu, "bukankah sekarang, kita bisa merasakan hangat, meski cuaca sedang dingin?"

Kau terdiam, memandang mataku dalam-dalam, seakan menemukan sesuatu di sana. Aku gugup. Matamu terlalu indah. Terlalu dekat.

"He-he, betul kan?" aku mengelus rambutmu, kemudian mengacak-acaknya, kau tak sempat menghindar. "Kebiasaan! Jadi berantakan, kan?" Kau bersungut dan merapikannya lagi.

Aku tertawa, kemudian mengajakmu duduk di bangku di sebuah kedai kopi -mereka menyebutnya kafe, kita memesan dua cangkir teh dan menyesapnya perlahan, "kelak, meski malam tak lagi mengenal kita, dan kenangan hanya ada dalam ingatan pohon tua, mungkin rindu tetap bisa bernaung di bawah lampu kota, tempat ia biasa berteduh dan berlindung dari musim kesedihan," kau menatap ke lepas jendela, lalu terdiam, memikirkan kata-katamu sendiri. Pun aku.

Setelah di dalam cangkir hanya ada ampas, kita pun meneruskan perjalanan. Aku melihat jam, malam sudah larut. Gerimis tumpah. Perlahan, kota terlihat buram, seolah berbaur dalam satu pejaman.

"Aku tak bawa payung," katamu. Panik. Lalu merapatkan jaketmu. Aku segera menaruh tanganku di kepalamu, supaya tak pening terkena siraman air. Kita langsung berlari mencari tempat kering.

Beberapa menit kemudian, kita berteduh di depan pertokoan. Cukup lama, meski cipratan masih mengenai kaki.

Kota terlihat ganjil di tengah siraman hujan. Sementara pandangan mulai kabur, mobil-mobil masih melaju menembus malam. Entah sudah berapa lama kita berada di sana.

Kota tak jua lelap.

Hujan bertambah deras.

Seketika, kita merasa sunyi.

/2/

Kini, setahun berlalu. Aku berdiri di depan kafe, tempat kita pernah menghabiskan malam bersama. Aku menatap lampu kota di selatan jalan. Lampu itu empat nyalanya. Tapi dulu, sekarang tinggal dua, redup, dan catnya mulai mengelupas.

Aku tersenyum, menghampirinya. Lalu membiarkan cahaya menyentuh sekujur tubuh. Di sekitar tiang, laron-laron beterbangan. Sama mencari hangat di tengah pias lampu.

"Aku selalu mengingatnya, bagaimana mata dapat menambah indah percakapan," aku mengenang kata-katamu. Lalu mencoba menggambar parasmu dan menyimpannya dalam ingatan. Senyummu terus termangu dalam benak.

Sekarang kau sudah tiada. Malam luruh dalam tangis September, sedang langit, tak lagi mampu membendung kesedihan. Hujan turun, sama seperti setahun lalu. Aku hanya diam, membiarkan hujan membawa air mataku. Aku berharap ada perasaan lega menyusup, lantas menderas nerkamkan sesak.

"Kau benar," aku menatap langit.

"Setidaknya lampu kota dapat mengobati rasa rindu padamu, meski tak pernah benar-benar bisa - menyembuhkannya."

Rafael Yanuar (21 Agustus 2011)

Satu-satu bintang pergi, rindu berdiam menjaga pagi.

3 komentar:

  1. Rafaeeeeel.. Manis dan sedih.. Ceritanya mengalir lembut banget(':

    BalasHapus
  2. @disatannos

    Terima kasih banyak, Disa, sudah meninggalkan jejak. Sajakmu menjadi inspirasi cerpen ini, senangnya bisa dinikmati =).

    BalasHapus
  3. Hallloooo Rafael
    Ceritanya sendu sekali... Membacanya jadi mengingatkanku pada lagu Yogayakarta-nya Kla Project :)
    Baguuuussss banget, love this story!
    Salam hangat dari Wonderland

    BalasHapus