Kepadamu, perempuan bermata senja
Minggu, 22 April 2012
Kunang-kunang, Maut dan Seribu Burung Kertas
Kepadamu, perempuan bermata senja
Jumat, 13 April 2012
Bandara Dekat Rumah
Sayang, ingatkah,
ketika berumah di dekat bandara
setiap malam kita suka duduk di lantai dua
sambil mencari bintang paling terang
tuk kemudian dijadikan satu-satunya
benda berharga milik kita.
Lucunya,
meski belum pernah naik pesawat
kita telah merayakan
berbagai macam perjumpaan, sebab
ketika pesawat mendarat
getarannya selalu sampai di lantai rumah kita.
Kini, sudah lama kita tak tinggal di sana
bandara pun hendak dipindahkan sebentar lagi
aku membayangkan betapa sepinya keadaan di situ
tanpa deru pesawat dan dengung pengeras suara
kau pun pasti merasa sedih, bukan?
Ketika jalan-jalan
hanya menyisakan kenangan.
Lalu, ketika segalanya tak lagi sama seperti dulu
bintang paling terang, masihkah berpijar
di beranda langit kita?
13 April 2012
Merenovasi Rumah Tua
Sabtu, 07 April 2012
Malam Kunang-kunang
– Papi
Pada suatu malam di kampung halaman
kunang-kunang muncul di balik ilalang
terangnya bak semburat purnama
mengembara di rimba gurita
tabahlah malam walau tiada lagi
dapat pendarkan cahaya.
Hujan pun menghamburkan sepi dalam tubuh puisi
beberapa rintiknya jatuh menerobos sunyi –
waktu berjalan pelan bagai sisa umur menziarahi masa lalunya sendiri
di lumbung kenangan, daun-daun meluruhkan hening hari.
Malam kunang-kunang di kampung halaman
tak pernah lagi dapat aku saksikan
hanya batu dan sayup rumputan
ditiup kesiup angin kemarau
engkau dan aku hanya tinggal masa lalu
segalanya telah berlalu.
Malam pun melipat sayapnya
melepaskan segala kenangan –
menjadi hening.
Hanya hening.
Apalagi?
2007
Aku Ingin Pulang
– Papi
Ayah
aku ingin pulang.
Menyusuri hamparan persawahan
menyaksikan matahari terbit dan terbenam
di kota kecilmu.
Tapi sekarang — kau berkata
kotaku tak lagi sama.
Ia serupa detik di sebuah jam tua
tak pernah bisa mengabadikan apa-apa
dan kita — hanya mampu membentuk kecemasan
bagai reranting tersapu angin
gelisahkan udara.
Aku hanya diam
menikmati semlir angin membawa hangat ingatan
menyaksikan burung-burung sunyi melintas jembatan
kita terus mengenangkan hujan semalam
dan merasa sangat kesepian.
Ayah
aku tetap ingin pulang.
Sebab di kotamu, bulan selalu pualam
bintang-bintang menyentuh langit dengan bayangan abadi
di teduh matamu.
Kau tersenyum —
Bukankah kesendirian membuat kita tahu, cinta ada?
Dan aku kembali disamarkan kenyataan
kau telah tiada.
Hanya bayangmu, senantiasa
tak lagi berubah.
Sebuah pusara.
27 Agustus 2011
Aroma Musim Panas
Percakapan Kecil di Sebuah Hujan
Aku sedang berada di toko bunga
ketika sulur-sulur kabut mulai terlihat
dan jari-jari hujan menanam akarnya
di tubuh bumi.
Di depan jendela
di dekat jam penghitung denyut
—dan pertemuan
kausedang merapikan beberapa kembang
dan meletakannya rapi bagai sebuah lukisan
dengan warna cerah menghadap langit.
"Untuk apa jendela dibuat?" tanyaku
ketika aku membantumu merangkai kembang
dan kita sama-sama merasakan butiran hujan
membasahi tubuh dan baju.
Kau pun tertegun
kemudian menuntunku memasuki ruangan,
hujan masih menanam bibit mungil waktu
di tanah depan rumahmu.
"Bukankah kita sama tahu
jendela dapat membuat kita menikmati hujan
tanpa perlu merasa kedinginan?"
Aku tersenyum
"Kau benar, dan aku bisa membuktikannya padamu,"
—kataku
sambil mengajakmu menyatukan jemari
kiri dan kanan, dan mulai menciptakan hangat
dengan pelukan.
— 5 April 2012 —
Selasa, 03 April 2012
Dua Puisi Hari Kemarin
: Papi
- 01
Lamunan Sebelum Fajar
Ketika bulan sedang purnama
bapak selalu terbangun tengah malam,
mata coklatnya berhadapan dengan mata jendela,
Seolah bergumam.
“Haruskah aku bekerja lagi
memotong kayu bakar
menyiangi ladang
dan berteduh di bawah pohonan rindang
sebab malam terlampau panjang
tuk dihabiskan di dalam kamar.”
Lalu, ketika kelepak samar kelelawar
mengelitik daunan kuning, dan burung kecil
mencari makan di balik reranting kering
bapak pun memandang jendela lama sekali.
- 02
Kenangan Sebelum Fajar
Di depan mata jendela
desau angin meniup baling-baling
udara mengetuk begitu tajam
cahaya tak pernah memejamkan mata
derik jangkrik mengusik alangkah hening
malam hidup, meski desa tertidur pulas.
Aku ingat
bila terjaga tengah malam
bapak pasti duduk di depan jendela
matanya demikian awas
melihat Tuhan bekerja.
20 Maret 2012
Perempuan di Balik Jendela Hujan
: Anri Kumaki
Aku menyukai gerimis di beranda rumahmu, Anri
butirannya selalu mampu meriapkan harum pada tanah nan hidup
aku mencintai pemandangan teduh manakala
kau tersenyum merenung bisikan bunga-bunga di seberang jendela.
Tak seperti hujan deras diremas halimun, Anri – hujan kecil-kecil
di beranda rumahmu
tak sekadar memekarkan sunyi
di butirnya mengalir damai – seperti hendak mengajak rindu
semakin dalam menyusur ingatan.
Sebab ketika cinta menubuh pada bening waktu
segala cuaca tak lagi memiliki nama
gerimis pun ingin menatapmu lebih lama
sebelum langit menghapusnya
dan pagi menjadikannya
tiada.
4 Maret 2012
Asa
Ibu, pernah kita habiskan malam bersama
bercengkerama tentang kenes-nya Ibu Pertiwi
cuaca sedang sejuk – angin sepoi melambai
luka-letih akibat kerja sehari cepatlah mengering.
Aku ingat
bilik kita sederhana saja –
selalu ada angin masuk melalui lubang dindingnya
namun kendati siupnya melebur bersama dingin di depan jendela
kita masih merasakan hangat.
Hikayat cinta tertulis mesra di dalam kebersahajaan kita
cerita-cerita indah tentang negeriku
senantiasa mengantar tidurku
namun bencana nista melanda tanah air kita
tiba-tiba saja, dalam waktu singkat – aku menjadi sangat sendiri
kau pergi menuju rumah ilahi
menyisakan jejak air mata dalam dadaku.
Kini, dongeng-dongeng tentang negeriku nan kaya
hancur manakala televisi masih saja memberitakan
sibuknya perwakilan kita
mengatur jam rapat dan gaji.
Lumpur-lumpur pengubur rumah kita, Ibu
mungkinkah kelak menjadi legenda – tentang para pembual
bernama pemerintah
manakala kebenaran diinterupsi hegemoni
dan rakyat menjadi sasaran kepentingan.
Ibu, tiba-tiba saja
aku jadi takut berharap
apalagi berdoa
mungkinkah pemimpin kita masih memiliki hati nurani?
14 September 2011