Ibu, pernah kita habiskan malam bersama
bercengkerama tentang kenes-nya Ibu Pertiwi
cuaca sedang sejuk – angin sepoi melambai
luka-letih akibat kerja sehari cepatlah mengering.
Aku ingat
bilik kita sederhana saja –
selalu ada angin masuk melalui lubang dindingnya
namun kendati siupnya melebur bersama dingin di depan jendela
kita masih merasakan hangat.
Hikayat cinta tertulis mesra di dalam kebersahajaan kita
cerita-cerita indah tentang negeriku
senantiasa mengantar tidurku
namun bencana nista melanda tanah air kita
tiba-tiba saja, dalam waktu singkat – aku menjadi sangat sendiri
kau pergi menuju rumah ilahi
menyisakan jejak air mata dalam dadaku.
Kini, dongeng-dongeng tentang negeriku nan kaya
hancur manakala televisi masih saja memberitakan
sibuknya perwakilan kita
mengatur jam rapat dan gaji.
Lumpur-lumpur pengubur rumah kita, Ibu
mungkinkah kelak menjadi legenda – tentang para pembual
bernama pemerintah
manakala kebenaran diinterupsi hegemoni
dan rakyat menjadi sasaran kepentingan.
Ibu, tiba-tiba saja
aku jadi takut berharap
apalagi berdoa
mungkinkah pemimpin kita masih memiliki hati nurani?
14 September 2011
Selasa, 03 April 2012
Asa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar