Jumat, 26 Desember 2014

(Cerpen) Tentang Senja



WAKTU telah menunjukkan pukul 22.00 ketika saya duduk di ruang tamu, memilih-milih buku untuk dibaca. Karena kantuk belum jua tiba, saya memutuskan menyelia kerja-kerja sederhana untuk membunuh masa, dan saya pikir membaca adalah pilihan yang tepat. Namun sayangnya hujan di depan jendela terlalu deras untuk diabaikan, suaranya membuat pikiran susah bergeming, maka saya putuskan membuka pintu, menyaksikan kabut-kabut melingkupi mata—lalu merenung dalam jenak. Cuaca Desember menuntun pikiran kembali diderasakan gelisah.

Setelah beberapa menit larut dalam hening, saya bersandar kembali di ruang tamu. Saya tak menemukan buku untuk dibaca, sebab percuma saja, sedalam apapun berusaha menghanyutkan benak dalam buai cerita, sudah sedari sore pikiran saya tertuju pada sebab musabab dunia. Ada biaya-biaya yang kian menumpuk, serta kebutuhan-kebutuhan yang semakin tak sebanding dengan jumlah pendapatan.

Saya hampiri kamar tempat istri dan putra saya jatuh terlelap, saya tatap paras putra saya dalam-dalam. Saya pikir, tak ada orang tua yang tega melihat anaknya berhadapan dengan dunia. Semua pasti ingin melindungi anaknya dan memanjakannya, namun hidup tak pernah memberi pilihan selain bertahan—seperti ikan-ikan yang berenang di keruhnya air. Alih-alih mendapat damai, saya justru membayangkan, betapa sakit benak bila sampai pada satu titik di mana putra saya harus berhadapan dengan kerasnya hidup.

Lalu saya masuki ruangan kecil di pojok rumah. Ada dua rak buku kecil dan lemari besar di sisi-sisinya, semuanya berisi buku. Rak yang paling tua—sekaligus yang paling banyak menyimpan masa lalu saya, berdiri kokoh di sudut ruangan. Saya ingat, pertama kali menerimanya di hari ulang tahun kelima, rak buku itu bagai raksasa yang tingginya jauh melampaui tubuh saya. Saat itu saya mengisinya dengan mainan dan mobil-mobilan plastik—yang kini entah di mana rimbanya. Butuh waktu setahun baginya untuk bisa memenuhi takdirnya sebagai penyimpan buku.

Kini rak itu sudah dipenuhi novel dan komik tua—yang meskipun kertasnya sudah dipadati bintik-bintik kuning, namun masih terawat dengan baik. Sengaja saya mengisinya dengan buku-buku lama—buku-buku yang menjadi perekam masa lalu saya. Di lemari paling atas bahkan tersimpan beberapa buku harian dan bertumpuk album masa kecil saya. Selain itu saya juga memasang kaca serta korden agar aroma lapuk tak menguar dan menjadikan suasana sumpak.

Akhirnya saya sambut buku foto yang tersimpan di pojok lemari. Aroma benda itu sudah apak, khas benda-benda tua. Saya buka halamannya sambil sesekali membersihkannya, meskipun tak ada debu yang menempel di dalamnya. Hingga mata saya tertuju pada sebuah potret, yang mana di sana tergambar seorang perempuan kecil dengan rambut dikuncir. Tubuhnya bersandar pada sandaran kayu di sebuah rumah makan pantai. Di tangan kirinya ada segelas jus jeruk yang mengembun karena dingin. Matanya memandang fokus kamera—mata yang sepertinya baru tersadar tengah dipotret. Ia tersenyum sekilas, buru-buru, namun manis sekali. Dan bila kau menajamkan pandang barang sekejap, di belakang gadis itu terlihat skena putih yang membentang serta burung-burung camar yang menebas cakrawala dengan sayapnya yang lebar, senja yang indah sedang turun di sana. Namun pusat dari lukisan itu jelas pemandangan kecil ini: dia, yang saya yakini sebagai perempuan terindah dalam hidup saya; sahabat saya sejak kanak-kanak. Saya ingat, ketika itu, mendiang ayahlah yang memotretnya.

Ternyata benar, hujan adalah saat yang baik untuk mengenang.

***

Ayah memiliki toko kecil yang menyediakan berbagai bahan bangunan di sudut kota. Ia memiliki mobil pikap hitam yang juga berfungsi sebagai armada kerjanya. Namun, berbanding terbalik dengan pekerjaannya sehari-hari, kebahagiaan terbesarnya justru ketika ia memegang kamera dan mengabadikan berbagai hal. Foto-foto hasil jepretannya selalu bagus, dan semuanya saya simpan di lemari (beberapa bahkan saya pajang di ruang tamu). Dibanding segala hal yang pernah ditinggalkannya, foto-foto itu adalah warisan yang paling berharga buat saya, yang membuat saya dapat sepenuh hati meyakini kenangan—sebab sering kali saya ragu apakah masa lalu itu benar-benar pernah terjadi, atau sekadar buah dari mimpi. Sayang sejuta sayang, bakat fotografinya tidak menurun pada saya. Sama sekali. Karena tak bisa benar-benar diam saat menekan tombol kamera, hasil jepretan saya selalu berbayang samar.

Seperti lazimnya hubungan ayah dan putra, selalu ada jarak tak kasatmata yang membentang di antara kami. Sikap ayah yang dingin, tegas dan tanpa tedeng aling-aling seringkali membuat saya ragu untuk mendekat. Ia tak segan-segan menghukum saya apabila mendapati nilai merah dalam buku pelajaran dan kertas ulangan milik saya. Meskipun demikian, saya pernah memergokinya menyuruh ibu membelikan mainan yang saya inginkan—yang pernah ia tolak mentah-mentah. Saya malah lupa benda apa yang saya angankan saat itu, tapi kebaikan yang diam-diam dilakukannya tak pernah ingin saya lupakan. Ia tak pernah tahu saya mengetahui ketuluskan hatinya.

Satu kebiasaannya yang saya ingat jelas, selain bakat fotografinya, adalah kebiasaannya ketika ia ke toko buku. Ayah selalu memilih bacaan yang sudah tak disegel untuk dibeli, yang telanjur tertekuk ujung-ujung sampulnya dan sudah dibolak-balik oleh banyak tangan. Ia gemar membeli sesuatu yang kondisinya seperti barang bekas namun dibandrol dengan harga baru, pernah sesekali saya tanya, untuk apa? Ia hanya menjawab bahwa hal itu melatihnya untuk rasa ikhlas. Saya yang saat itu masih berusia 12 tahun, tak benar-benar paham maksud ucapannya, tapi ternyata, kebiasaan ayah itu tak mudah untuk ditiru. Sesampainya di rumah, “buku bekas dengan harga baru” hasil jarahannya itu langsung dilapisi dengan baju dan diseterika. Baru setelah kondisinya membaik, ia akan menyampulnya dengan sampul plastik.

Ibu adalah sosok pendiam yang lembut, yang selalu terlihat berada di dapur. Ia sangat suka dapur. Ia beranggapan bahwa suara telenan yang beradu dengan pisau adalah bunyi terindah yang pernah ia dengar. Dia juga selalu berkhayal bisa tidur di dapur. Saya tidak tahu apakah itu sekadar olok-olok belaka, atau benar-benar dari hatinya, tapi kata-katanya itu membuat saya selalu terkenang ibu setiap kali mendengar dengung kulkas. “Suatu hari nanti, ibu ingin sekali tidur di samping kulkas,” akunya.

Ibu juga mencintai senja. Baginya, senja adalah saat-saat yang mendamaikan, yang mampu membuatnya terlihat begitu santai. Berbeda dengan apa yang ditawarkan malam, keheningan yang senja miliki tak bisa dirasakan indra, hanya dengan hati. Namun, melebihi itu semua, ia jauh menyukai suara mobil yang pulang tepat ketika maghrib berkumandang, terlebih pada pengendara setianya—ayah. Kerap saya dapati senyumnya ketika menyambut ayah yang berjalan pelan ke muka pintu. Cantik sekali.

Saya sendiri adalah anak tunggal yang senantiasa mendambakan seorang adik. Tapi sampai saya berusia tujuh tahun, permintaan itu tak kunjung terkabul. Maka, begitu putri tetangga kami, Senja, dilahirkan, saya langsung menganggapnya sebagai adik sendiri. Saya menjaganya sejak awal dan memerhatikan segala tumbuh kembangnya, dan itu menyenangkan. Orang tua Senja, terutama ibunya, yang juga sahabat ibu saya, sering terbahak melihat keakraban kami. Belakangan, saya menyadari satu hal: diam-diam, seiring berjalannya waktu, orang tua kami mengharapkan kedekatan kami akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan persahabatan. Hal yang ganjil mengingat umur kami terpaut cukup jauh. Tapi dua puluh tahun kemudian, harapan mereka toh terkabul jua, saat melihat kami berdiri berdampingan di pelaminan.

Saat Senja berusia enam tahun, kami sekeluarga mengajaknya ke pantai. Ayah menyewa mobil yang bisa memuat enam kepala—setidaknya, itulah yang saya lihat dalam beberapa foto. Saya lupa sebagian perjalanannya, tapi saya ingat matahari sudah condong ke barat begitu kami sampai di pantai. Ketika istirah di rumah makan pesisir itulah, potret ini dibuat.

***

Ayah meninggal dua tahun setelah anak pertama saya terlahir di dunia. Saya yang berdiri di hadapan tubuhnya yang beku, terpaku dalam kesedihan yang dalam. Bukan karena kepergian yang begitu mendadak, namun karena ucapan selamat tinggal yang tak pernah lagi dapat sampai. Ucap kata “rindu” yang kini terlepas dari mulut saya, mustahil dapat ia dengar. Cinta yang membuncah bersama datangnya kesedihan, tak mungkin lagi terobati. Kelak kerinduaan ini akan menjadi keheningan yang panjang, keheningan yang hanya mampu dilunasi tatkala batin terdiam dalam doa. Ibu, yang seperti tak rela terlalu lama merindu, meninggal beberapa bulan kemudian. Dan ini seperti melengkapi kepedihan saya. Kepedihan kami.

Sungguh, bagian ini terlalu sulit untuk dikenangkan.

***

“Lukas? Belum tidur?” Suara lembut itu menyadarkan lamunan saya. Senja berdiri di samping pintu dengan senyumnya yang khas, ia lihat foto yang saya genggam sedari tadi. “Kamu ingat, di pasir itu, kita menggambar satu rumah yang setiap hari dimandikan cahaya?” tanyanya. Saya mengangguk. “Benarkah?”

Ia tersenyum. “Kangen, ya? Bagaimana kalau Sabtu besok kita ke sana?” tanyanya. “Lagi pula dekat, dan aku penasaran bagaimana takjubnya anak kita saat melihat air yang begitu banyak, melihat pengalaman lautnya untuk pertama kali.”

Pandangan matanya menciptakan semacam keadaan damai dalam diri, memandangnya adalah berkat yang sederhana, kebahagiaan yang tak perlu bermegah-megah untuk hadir. Ya, suara hujan memang masih terdengar di lepas jendela, namun hanya ada keharuan menderas di benak. Aroma kenangan yang saya biarkan menguar membuat resah menguap entah ke mana, seperti kepul putih secangkir teh yang baru saja diseduhkan Senja.

Segalanya menghangat.

“Boleh,” kata saya. “Kebetulan aku ingin menggambarnya lagi. Rumah itu.”

***

Orang yang sudah meninggal tak akan pernah terlambat datang. Kitalah—yang masih hidup yang tak lagi bisa tepat waktu. Mereka selalu sudah menunggu, selalu begitu, di tempat yang dijanjikan hati. Seperti saat ini, ketika bus yang kami tumpangi berhenti di persimpangan, dan kami harus menempuh jarak lumayan panjang untuk sampai ke pantai yang dulu diabadikan ayah di foto itu. Bahkan di kejauhan, dari pegangan kayu yang menjulur sepanjang jalan, saya bisa melihat ayah dan ibu melambaikan tangan, dengan senyum yang tak pernah menua.

“Kau pasti lapar,” ujar saya. Senja tersenyum, “Ayo, mampir di rumah makan itu. Aku kangen jus jeruknya,” katanya sambil menunjuk sebuah pendopo dengan papan kayu yang bertuliskan “Panorama”. Rumah makan yang sejak dulu, selalu berhasil menawarkan pemandangan bahari pantai ini.

Saya memasuki pintu kayu sambil menggandeng Candra, anak kami. Lalu, saat duduk di lesehan dan menunggu menu diantarkan, saya memandang ke kejauhan, ke lepas pantai yang kini ditiup angin semilir. Mereka masih menunggu. Mereka tak akan keberatan menunggu. Dan mereka tak sendiri, ada bayangan diri Senja dan saya sebagai sahabat kecil yang duduk tenang menggambar sebuah rumah; sebagian dari diri kami yang akan selamanya berada di sana.

***

Ada yang tak mampu kulupa, bulu lembut di keningmu
yang meremang kala kukecup dan ketika kusibak rambutmu.
Ada yang tak hendak kubuang, serangkaian kenang-kenangan
yang tergambar di gelap malam dan tersimpan di pucuk daunan.
—Ada yang Tak Mampu Kulupa (Ebiet)

9 Januari 2014

Catatan

i.
Cerita ini, meski bukan sepenuhnya kisah patah hati, terinspirasi dari lagu Ada yang Tak Mampu Kulupa milik pujangga paling puitis, Ebiet G Ade—ini adalah lagu beliau yang paling saya suka (ada di album Camelia III dan—entah kenapa—belum pernah sekalipun dimasukan ke dalam album kompilasinya),

ii.
Saya bingung harus menamai tokohnya apa. Nama Senja dan Lukas saya pilih hanya karena cocok saja jika disandingkan. Dan ini masih mending dari beberapa kisah yang tokohya hanya disebut 'aku', 'kau' dan 'dia' (ketawa),

iii.
Nama Candra tak ada hubungannya dengan FMIdol7. Sumpah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar