WAKTU telah menunjukkan
pukul 22.00 ketika saya duduk di ruang tamu, memilih-milih buku untuk dibaca.
Karena kantuk belum jua tiba, saya memutuskan menyelia kerja-kerja sederhana
untuk membunuh masa, dan saya pikir membaca adalah pilihan yang tepat. Namun
sayangnya hujan di depan jendela terlalu deras untuk diabaikan, suaranya membuat
pikiran susah bergeming, maka saya putuskan membuka pintu, menyaksikan
kabut-kabut melingkupi mata—lalu merenung dalam jenak. Cuaca Desember menuntun
pikiran kembali diderasakan gelisah.
Setelah beberapa menit larut
dalam hening, saya bersandar kembali di ruang tamu. Saya tak menemukan buku
untuk dibaca, sebab percuma saja, sedalam apapun berusaha menghanyutkan benak
dalam buai cerita, sudah sedari sore pikiran saya tertuju pada sebab musabab
dunia. Ada biaya-biaya yang kian menumpuk, serta kebutuhan-kebutuhan yang
semakin tak sebanding dengan jumlah pendapatan.
Saya hampiri kamar tempat
istri dan putra saya jatuh terlelap, saya tatap paras putra saya dalam-dalam. Saya
pikir, tak ada orang tua yang tega melihat anaknya berhadapan dengan dunia.
Semua pasti ingin melindungi anaknya dan memanjakannya, namun hidup tak pernah
memberi pilihan selain bertahan—seperti ikan-ikan yang berenang di keruhnya air.
Alih-alih mendapat damai, saya justru membayangkan, betapa sakit benak bila
sampai pada satu titik di mana putra saya harus berhadapan dengan kerasnya
hidup.
Lalu saya masuki ruangan
kecil di pojok rumah. Ada dua rak buku kecil dan lemari besar di sisi-sisinya,
semuanya berisi buku. Rak yang paling tua—sekaligus yang paling banyak
menyimpan masa lalu saya, berdiri kokoh di sudut ruangan. Saya ingat, pertama kali
menerimanya di hari ulang tahun kelima, rak buku itu bagai raksasa yang
tingginya jauh melampaui tubuh saya. Saat itu saya mengisinya dengan mainan dan
mobil-mobilan plastik—yang kini entah di mana rimbanya. Butuh waktu setahun baginya
untuk bisa memenuhi takdirnya sebagai penyimpan buku.
Kini rak itu sudah dipenuhi
novel dan komik tua—yang meskipun kertasnya sudah dipadati bintik-bintik
kuning, namun masih terawat dengan baik. Sengaja saya mengisinya dengan
buku-buku lama—buku-buku yang menjadi perekam masa lalu saya. Di lemari paling
atas bahkan tersimpan beberapa buku harian dan bertumpuk album masa kecil saya.
Selain itu saya juga memasang kaca serta korden agar aroma lapuk tak menguar
dan menjadikan suasana sumpak.
Akhirnya saya sambut buku
foto yang tersimpan di pojok lemari. Aroma benda itu sudah apak, khas
benda-benda tua. Saya buka halamannya sambil sesekali membersihkannya, meskipun
tak ada debu yang menempel di dalamnya. Hingga mata saya tertuju pada sebuah
potret, yang mana di sana tergambar seorang perempuan kecil dengan rambut
dikuncir. Tubuhnya bersandar pada sandaran kayu di sebuah rumah makan pantai.
Di tangan kirinya ada segelas jus jeruk yang mengembun karena dingin. Matanya
memandang fokus kamera—mata yang sepertinya baru tersadar tengah dipotret. Ia
tersenyum sekilas, buru-buru, namun manis sekali. Dan bila kau menajamkan pandang
barang sekejap, di belakang gadis itu terlihat skena putih yang membentang
serta burung-burung camar yang menebas cakrawala dengan sayapnya yang lebar,
senja yang indah sedang turun di sana. Namun pusat dari lukisan itu jelas pemandangan
kecil ini: dia, yang saya yakini sebagai perempuan terindah dalam hidup saya; sahabat
saya sejak kanak-kanak. Saya ingat, ketika itu, mendiang ayahlah yang
memotretnya.
Ternyata benar, hujan adalah
saat yang baik untuk mengenang.
***
Ayah memiliki toko kecil
yang menyediakan berbagai bahan bangunan di sudut kota. Ia memiliki mobil pikap
hitam yang juga berfungsi sebagai armada kerjanya. Namun, berbanding terbalik
dengan pekerjaannya sehari-hari, kebahagiaan terbesarnya justru ketika ia
memegang kamera dan mengabadikan berbagai hal. Foto-foto hasil jepretannya selalu
bagus, dan semuanya saya simpan di lemari (beberapa bahkan saya pajang di ruang
tamu). Dibanding segala hal yang pernah ditinggalkannya, foto-foto itu adalah
warisan yang paling berharga buat saya, yang membuat saya dapat sepenuh hati
meyakini kenangan—sebab sering kali saya ragu apakah masa lalu itu benar-benar
pernah terjadi, atau sekadar buah dari mimpi. Sayang sejuta sayang, bakat
fotografinya tidak menurun pada saya. Sama sekali. Karena tak bisa benar-benar
diam saat menekan tombol kamera, hasil jepretan saya selalu berbayang samar.
Seperti lazimnya hubungan
ayah dan putra, selalu ada jarak tak kasatmata yang membentang di antara kami.
Sikap ayah yang dingin, tegas dan tanpa tedeng aling-aling seringkali membuat
saya ragu untuk mendekat. Ia tak segan-segan menghukum saya apabila mendapati
nilai merah dalam buku pelajaran dan kertas ulangan milik saya. Meskipun
demikian, saya pernah memergokinya menyuruh ibu membelikan mainan yang saya inginkan—yang
pernah ia tolak mentah-mentah. Saya malah lupa benda apa yang saya angankan
saat itu, tapi kebaikan yang diam-diam dilakukannya tak pernah ingin saya
lupakan. Ia tak pernah tahu saya mengetahui ketuluskan hatinya.
Satu kebiasaannya yang saya
ingat jelas, selain bakat fotografinya, adalah kebiasaannya ketika ia ke toko
buku. Ayah selalu memilih bacaan yang sudah tak disegel untuk dibeli, yang
telanjur tertekuk ujung-ujung sampulnya dan sudah dibolak-balik oleh banyak
tangan. Ia gemar membeli sesuatu yang kondisinya seperti barang bekas namun
dibandrol dengan harga baru, pernah sesekali saya tanya, untuk apa? Ia hanya
menjawab bahwa hal itu melatihnya untuk rasa ikhlas. Saya yang saat itu masih
berusia 12 tahun, tak benar-benar paham maksud ucapannya, tapi ternyata,
kebiasaan ayah itu tak mudah untuk ditiru. Sesampainya di rumah, “buku bekas
dengan harga baru” hasil jarahannya itu langsung dilapisi dengan baju dan
diseterika. Baru setelah kondisinya membaik, ia akan menyampulnya dengan sampul
plastik.
Ibu adalah sosok pendiam
yang lembut, yang selalu terlihat berada di dapur. Ia sangat suka dapur. Ia beranggapan bahwa suara telenan yang beradu
dengan pisau adalah bunyi terindah yang pernah ia dengar. Dia juga selalu
berkhayal bisa tidur di dapur. Saya tidak tahu apakah itu sekadar olok-olok
belaka, atau benar-benar dari hatinya, tapi kata-katanya itu membuat saya selalu
terkenang ibu setiap kali mendengar dengung kulkas. “Suatu hari nanti, ibu
ingin sekali tidur di samping kulkas,” akunya.
Ibu juga mencintai senja.
Baginya, senja adalah saat-saat yang mendamaikan, yang mampu membuatnya
terlihat begitu santai. Berbeda dengan apa yang ditawarkan malam, keheningan yang
senja miliki tak bisa dirasakan indra, hanya dengan hati. Namun, melebihi itu
semua, ia jauh menyukai suara mobil yang pulang tepat ketika maghrib
berkumandang, terlebih pada pengendara setianya—ayah. Kerap saya dapati
senyumnya ketika menyambut ayah yang berjalan pelan ke muka pintu. Cantik
sekali.
Saya sendiri adalah anak
tunggal yang senantiasa mendambakan seorang adik. Tapi sampai saya berusia
tujuh tahun, permintaan itu tak kunjung terkabul. Maka, begitu putri tetangga
kami, Senja, dilahirkan, saya langsung menganggapnya sebagai adik sendiri. Saya
menjaganya sejak awal dan memerhatikan segala tumbuh kembangnya, dan itu
menyenangkan. Orang tua Senja, terutama ibunya, yang juga sahabat ibu saya,
sering terbahak melihat keakraban kami. Belakangan, saya menyadari satu hal: diam-diam,
seiring berjalannya waktu, orang tua kami mengharapkan kedekatan kami akan
berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan persahabatan. Hal
yang ganjil mengingat umur kami terpaut cukup jauh. Tapi dua puluh tahun kemudian,
harapan mereka toh terkabul jua, saat
melihat kami berdiri berdampingan di pelaminan.
Saat Senja berusia enam
tahun, kami sekeluarga mengajaknya ke pantai. Ayah menyewa mobil yang bisa
memuat enam kepala—setidaknya, itulah yang saya lihat dalam beberapa foto. Saya
lupa sebagian perjalanannya, tapi saya ingat matahari sudah condong ke barat
begitu kami sampai di pantai. Ketika istirah di rumah makan pesisir itulah,
potret ini dibuat.
***
Ayah meninggal dua tahun
setelah anak pertama saya terlahir di dunia. Saya yang berdiri di hadapan tubuhnya
yang beku, terpaku dalam kesedihan yang dalam. Bukan karena kepergian yang
begitu mendadak, namun karena ucapan selamat tinggal yang tak pernah lagi dapat
sampai. Ucap kata “rindu” yang kini terlepas dari mulut saya, mustahil dapat ia
dengar. Cinta yang membuncah bersama datangnya kesedihan, tak mungkin lagi
terobati. Kelak kerinduaan ini akan menjadi keheningan yang panjang, keheningan
yang hanya mampu dilunasi tatkala batin terdiam dalam doa. Ibu, yang seperti
tak rela terlalu lama merindu, meninggal beberapa bulan kemudian. Dan ini
seperti melengkapi kepedihan saya. Kepedihan kami.
Sungguh, bagian ini terlalu
sulit untuk dikenangkan.
***
“Lukas? Belum tidur?” Suara
lembut itu menyadarkan lamunan saya. Senja berdiri di samping pintu dengan
senyumnya yang khas, ia lihat foto yang saya genggam sedari tadi. “Kamu ingat,
di pasir itu, kita menggambar satu rumah yang setiap hari dimandikan cahaya?”
tanyanya. Saya mengangguk. “Benarkah?”
Ia tersenyum. “Kangen, ya?
Bagaimana kalau Sabtu besok kita ke sana?” tanyanya. “Lagi pula dekat, dan aku
penasaran bagaimana takjubnya anak kita saat melihat air yang begitu banyak,
melihat pengalaman lautnya untuk pertama kali.”
Pandangan matanya
menciptakan semacam keadaan damai dalam diri, memandangnya adalah berkat yang
sederhana, kebahagiaan yang tak perlu bermegah-megah untuk hadir. Ya, suara
hujan memang masih terdengar di lepas jendela, namun hanya ada keharuan
menderas di benak. Aroma kenangan yang saya biarkan menguar membuat resah menguap
entah ke mana, seperti kepul putih secangkir teh yang baru saja diseduhkan Senja.
Segalanya menghangat.
“Boleh,” kata saya. “Kebetulan
aku ingin menggambarnya lagi. Rumah itu.”
***
Orang yang sudah meninggal
tak akan pernah terlambat datang. Kitalah—yang masih hidup yang tak lagi bisa
tepat waktu. Mereka selalu sudah menunggu, selalu begitu, di tempat yang
dijanjikan hati. Seperti saat ini, ketika bus yang kami tumpangi berhenti di
persimpangan, dan kami harus menempuh jarak lumayan panjang untuk sampai ke
pantai yang dulu diabadikan ayah di foto itu. Bahkan di kejauhan, dari pegangan
kayu yang menjulur sepanjang jalan, saya bisa melihat ayah dan ibu melambaikan
tangan, dengan senyum yang tak pernah menua.
“Kau pasti lapar,” ujar
saya. Senja tersenyum, “Ayo, mampir di rumah makan itu. Aku kangen jus
jeruknya,” katanya sambil menunjuk sebuah pendopo dengan papan kayu yang
bertuliskan “Panorama”. Rumah makan yang sejak dulu, selalu berhasil menawarkan
pemandangan bahari pantai ini.
Saya memasuki pintu kayu sambil
menggandeng Candra, anak kami. Lalu, saat duduk di lesehan dan menunggu menu
diantarkan, saya memandang ke kejauhan, ke lepas pantai yang kini ditiup angin semilir.
Mereka masih menunggu. Mereka tak akan keberatan menunggu. Dan mereka tak
sendiri, ada bayangan diri Senja dan saya sebagai sahabat kecil yang duduk
tenang menggambar sebuah rumah; sebagian dari diri kami yang akan selamanya
berada di sana.
***
Ada
yang tak mampu kulupa, bulu lembut di keningmu
yang
meremang kala kukecup dan ketika kusibak rambutmu.
Ada
yang tak hendak kubuang, serangkaian kenang-kenangan
yang
tergambar di gelap malam dan tersimpan di pucuk daunan.
—Ada
yang Tak Mampu Kulupa (Ebiet)
9
Januari 2014
Catatan
i.
Cerita ini, meski bukan
sepenuhnya kisah patah hati, terinspirasi dari lagu Ada yang Tak Mampu Kulupa
milik pujangga paling puitis, Ebiet G Ade—ini adalah lagu beliau yang paling
saya suka (ada di album Camelia III dan—entah kenapa—belum pernah sekalipun dimasukan
ke dalam album kompilasinya),
ii.
Saya bingung harus menamai
tokohnya apa. Nama Senja dan Lukas saya pilih hanya karena cocok saja jika
disandingkan. Dan ini masih mending dari beberapa kisah yang tokohya hanya disebut 'aku', 'kau' dan 'dia' (ketawa),
iii.
Nama Candra tak ada hubungannya
dengan FMIdol7. Sumpah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar