Pada
suatu malam, gadis penjual korek api
datang
padaku
tangannya
tak lagi ungu oleh salju
bibirnya
selembut sekuntum hortensia
tatapnya
hangat, melebihi teduh musim semi.
Kecuali
sekeranjang korek api di tangan kanannya
ia
tak seperti yang dulu engkau ceritakan.
Sejenak,
ia menyentuh tanganku, dan berkata
"Aku
ingat, di samping pohon Natal
ia
pernah bercerita tentangku
tutur
katanya hangatkan hati
meski
aku, sedang berjalan bertelanjang kaki
di
tengah kota bersalju."
Aku
tersenyum, "Di sini salju tak pernah turun
hanya
hujan bulan Desember,
dan
nyala lilin di sudut ruangan."
Dia
pun menyalakan korek,
membuat
sosokmu kembali hadir
dalam
kelebat bara kenangan.
Aku
menuntun pelita di tangannya
pada
sebatang lilin
berharap
pendarnya dapat lebih lama
bertahan
ditiup dingin cuaca.
Ia
tersenyum memandang bayangmu
"Di
mana dia, si tuan pendongeng, aku rindu.
Sudah
lama tak kudengar ia bercerita."
Namun,
aku hanya diam
takjub
menatap sosok di balik cahaya
kau
sedang asyik membaca koran di tengah ruangan.
"Alangkah,
gadis kecil,
begitupun
aku."
07 Desember 2011
Catatan
i.
Tadinya
saya ingin mem-posting sesuatu
tentang Natal di blog ini, tapi—karena bingung harus menyampaikan apa—saya malah
membuka-buka buku harian dan menemukan tulisan ini di satu sudut halamannya. Saat
membacanya kembali, saya jadi terharu. Padahal rasanya saat itu saya menulisnya
asal saja, sekadar tumpahan rindu pada ayah yang—sebenarnya—tak pernah
menyampaikan dongeng ini—atau dongeng apapun (seingat saya)—pada saya.
ii.
Siapapun
yang mengenal saya pasti tahu dongeng ini begitu memengaruhi saya untuk
mencintai kisah-kisah bernuansa hangat-namun-sedih yang menyisakan patahan di
hati pembacanya.
iii.
Siapapun,
dan di manapun kalian berada, Selamat hari Natal! Semoga damai seluruh bumi. Tuhan
memberkati (^_^).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar