Minggu, 22 Juli 2012
Review Film - The Dark Knight Rises (2012)
Minggu, 22 April 2012
Kunang-kunang, Maut dan Seribu Burung Kertas
Kepadamu, perempuan bermata senja
Jumat, 13 April 2012
Bandara Dekat Rumah
Sayang, ingatkah,
ketika berumah di dekat bandara
setiap malam kita suka duduk di lantai dua
sambil mencari bintang paling terang
tuk kemudian dijadikan satu-satunya
benda berharga milik kita.
Lucunya,
meski belum pernah naik pesawat
kita telah merayakan
berbagai macam perjumpaan, sebab
ketika pesawat mendarat
getarannya selalu sampai di lantai rumah kita.
Kini, sudah lama kita tak tinggal di sana
bandara pun hendak dipindahkan sebentar lagi
aku membayangkan betapa sepinya keadaan di situ
tanpa deru pesawat dan dengung pengeras suara
kau pun pasti merasa sedih, bukan?
Ketika jalan-jalan
hanya menyisakan kenangan.
Lalu, ketika segalanya tak lagi sama seperti dulu
bintang paling terang, masihkah berpijar
di beranda langit kita?
13 April 2012
Merenovasi Rumah Tua
Sabtu, 07 April 2012
Malam Kunang-kunang
– Papi
Pada suatu malam di kampung halaman
kunang-kunang muncul di balik ilalang
terangnya bak semburat purnama
mengembara di rimba gurita
tabahlah malam walau tiada lagi
dapat pendarkan cahaya.
Hujan pun menghamburkan sepi dalam tubuh puisi
beberapa rintiknya jatuh menerobos sunyi –
waktu berjalan pelan bagai sisa umur menziarahi masa lalunya sendiri
di lumbung kenangan, daun-daun meluruhkan hening hari.
Malam kunang-kunang di kampung halaman
tak pernah lagi dapat aku saksikan
hanya batu dan sayup rumputan
ditiup kesiup angin kemarau
engkau dan aku hanya tinggal masa lalu
segalanya telah berlalu.
Malam pun melipat sayapnya
melepaskan segala kenangan –
menjadi hening.
Hanya hening.
Apalagi?
2007
Aku Ingin Pulang
– Papi
Ayah
aku ingin pulang.
Menyusuri hamparan persawahan
menyaksikan matahari terbit dan terbenam
di kota kecilmu.
Tapi sekarang — kau berkata
kotaku tak lagi sama.
Ia serupa detik di sebuah jam tua
tak pernah bisa mengabadikan apa-apa
dan kita — hanya mampu membentuk kecemasan
bagai reranting tersapu angin
gelisahkan udara.
Aku hanya diam
menikmati semlir angin membawa hangat ingatan
menyaksikan burung-burung sunyi melintas jembatan
kita terus mengenangkan hujan semalam
dan merasa sangat kesepian.
Ayah
aku tetap ingin pulang.
Sebab di kotamu, bulan selalu pualam
bintang-bintang menyentuh langit dengan bayangan abadi
di teduh matamu.
Kau tersenyum —
Bukankah kesendirian membuat kita tahu, cinta ada?
Dan aku kembali disamarkan kenyataan
kau telah tiada.
Hanya bayangmu, senantiasa
tak lagi berubah.
Sebuah pusara.
27 Agustus 2011
Aroma Musim Panas
Percakapan Kecil di Sebuah Hujan
Aku sedang berada di toko bunga
ketika sulur-sulur kabut mulai terlihat
dan jari-jari hujan menanam akarnya
di tubuh bumi.
Di depan jendela
di dekat jam penghitung denyut
—dan pertemuan
kausedang merapikan beberapa kembang
dan meletakannya rapi bagai sebuah lukisan
dengan warna cerah menghadap langit.
"Untuk apa jendela dibuat?" tanyaku
ketika aku membantumu merangkai kembang
dan kita sama-sama merasakan butiran hujan
membasahi tubuh dan baju.
Kau pun tertegun
kemudian menuntunku memasuki ruangan,
hujan masih menanam bibit mungil waktu
di tanah depan rumahmu.
"Bukankah kita sama tahu
jendela dapat membuat kita menikmati hujan
tanpa perlu merasa kedinginan?"
Aku tersenyum
"Kau benar, dan aku bisa membuktikannya padamu,"
—kataku
sambil mengajakmu menyatukan jemari
kiri dan kanan, dan mulai menciptakan hangat
dengan pelukan.
— 5 April 2012 —
Selasa, 03 April 2012
Dua Puisi Hari Kemarin
: Papi
- 01
Lamunan Sebelum Fajar
Ketika bulan sedang purnama
bapak selalu terbangun tengah malam,
mata coklatnya berhadapan dengan mata jendela,
Seolah bergumam.
“Haruskah aku bekerja lagi
memotong kayu bakar
menyiangi ladang
dan berteduh di bawah pohonan rindang
sebab malam terlampau panjang
tuk dihabiskan di dalam kamar.”
Lalu, ketika kelepak samar kelelawar
mengelitik daunan kuning, dan burung kecil
mencari makan di balik reranting kering
bapak pun memandang jendela lama sekali.
- 02
Kenangan Sebelum Fajar
Di depan mata jendela
desau angin meniup baling-baling
udara mengetuk begitu tajam
cahaya tak pernah memejamkan mata
derik jangkrik mengusik alangkah hening
malam hidup, meski desa tertidur pulas.
Aku ingat
bila terjaga tengah malam
bapak pasti duduk di depan jendela
matanya demikian awas
melihat Tuhan bekerja.
20 Maret 2012
Perempuan di Balik Jendela Hujan
: Anri Kumaki
Aku menyukai gerimis di beranda rumahmu, Anri
butirannya selalu mampu meriapkan harum pada tanah nan hidup
aku mencintai pemandangan teduh manakala
kau tersenyum merenung bisikan bunga-bunga di seberang jendela.
Tak seperti hujan deras diremas halimun, Anri – hujan kecil-kecil
di beranda rumahmu
tak sekadar memekarkan sunyi
di butirnya mengalir damai – seperti hendak mengajak rindu
semakin dalam menyusur ingatan.
Sebab ketika cinta menubuh pada bening waktu
segala cuaca tak lagi memiliki nama
gerimis pun ingin menatapmu lebih lama
sebelum langit menghapusnya
dan pagi menjadikannya
tiada.
4 Maret 2012
Asa
Ibu, pernah kita habiskan malam bersama
bercengkerama tentang kenes-nya Ibu Pertiwi
cuaca sedang sejuk – angin sepoi melambai
luka-letih akibat kerja sehari cepatlah mengering.
Aku ingat
bilik kita sederhana saja –
selalu ada angin masuk melalui lubang dindingnya
namun kendati siupnya melebur bersama dingin di depan jendela
kita masih merasakan hangat.
Hikayat cinta tertulis mesra di dalam kebersahajaan kita
cerita-cerita indah tentang negeriku
senantiasa mengantar tidurku
namun bencana nista melanda tanah air kita
tiba-tiba saja, dalam waktu singkat – aku menjadi sangat sendiri
kau pergi menuju rumah ilahi
menyisakan jejak air mata dalam dadaku.
Kini, dongeng-dongeng tentang negeriku nan kaya
hancur manakala televisi masih saja memberitakan
sibuknya perwakilan kita
mengatur jam rapat dan gaji.
Lumpur-lumpur pengubur rumah kita, Ibu
mungkinkah kelak menjadi legenda – tentang para pembual
bernama pemerintah
manakala kebenaran diinterupsi hegemoni
dan rakyat menjadi sasaran kepentingan.
Ibu, tiba-tiba saja
aku jadi takut berharap
apalagi berdoa
mungkinkah pemimpin kita masih memiliki hati nurani?
14 September 2011
Jumat, 16 Maret 2012
Hachiko Monogatari
- 01
Di depan stasiun Shibuya
dia selalu berharap, sebuah janji dapat tertuntas
bahkan, setelah ia tahu
tak ada apa-apa
selain musim
selain ranggas daunan diremas lengan-lengan usia.
- 02
Mungkin
hanya pada derit-derit rel kereta tua
ia dapat bertahan tanpa sepatahpun kata
hanya harapan, pun sebait doa
dua jiwa dapat bertemu kembali.
Pada akhirnya
ia selalu percaya, ada jawaban di setiap penantian
di mana kenangan dapat menjelma pertemuan
bahkan tanpa perlu sambut pelukan
namun, sampai kapan, Hachi
kau mampu bertahan
menyembunyikan kenyataan, membiarkan tahun-tahun
terserak dalam penantian tak bersambut?
23 Juli 2010
Selasa, 13 Maret 2012
Benih Air Mata
Ayah, izinkan aku menanam air mata
di tanah tempatmu dipendam
dan biarkan ia tumbuh sebagai pohon
di mana rimbun daunnya selalu mampu
menaungi bumi rinduku.
Hingga nanti buahnya jatuh
sebagai makanan musim
dan rindu terus terbata membaca cuaca esok hari
biarkan air mata mengalir
menumbuhkan kenangan
di seluruh
perhentianku.
13 Maret 2012
Indonesia
Tanah airku, Indonesia
darah-jiwanya mengalir
jadi air sungai cinta
dalam dadaku.
Tanah airku, Indonesia
dulu alangkah kaya
malah katanya
tongkat batu bisa jadi tumbuhan.
Damai negeriku, damai bangsaku
bersama sahabat membangun bangsa
bertopang fondasi nan kuat
negeriku bertuhan, bersatu dengan harapan
memberi keadilan bagi seluruh rakyat
dalam rasa perikemanusiaan
: adil dan beradab.
Namun sekarang
Indonesia sakit
tubuhnya terlampau banyak dikerat tikus berdasi
sayap-sayap garuda dipatahkan wakilnya sendiri
korupsi bagai makanan sehari-hari
pemimpinnya kehilangan hati nurani.
Negeriku Indonesia
kini dipenuhi air mata
Ibu Pertiwi menangis tersedu-sedan
dan pemimpinnya hanya mampu berkata
"Prihatin!"
17 Agustus 2011
dan aku hanya menulis puisi?
Senin, 12 Maret 2012
Mati Lampu
Aku suka memandang lilin milik pedagang kaki lima
ketika listrik tiba-tiba padam
bintang-bintang menyala bagai perapian
mengalir hangat di dalam dada.
Hanya ketika listrik padam
kota temaram
semuanya mencari terang di luar rumah.
Seusai hujan udara lembab
langit tampak bersih seolah habis dicuci
aku senang merenung bulan berlama-lama
sambil mengenang suasana di kampung halaman
aku sering tak sengaja
memikirkan senyum cinta pertama
masihkah semanis pertama jumpa?
Tak terasa aku melamun begitu lama
lampu kembali menyala, malam menjadi batu
di halaman hujan tiba-tiba turun
deru isyarat tentang sebuah kehilangan
tiba-tiba saja terdengar
namun bukankah kita sama tahu
hanya dalam keadaan tanpa cahaya
kita dapat melihat cahaya.
12 Maret 2012
Desaku
Masa lampau
ketika sungai di desaku
masih bening airnya
purnama sering tergelincir
di permukaannya.
Anak-anak bermain sambil menyanyikan tembang Jawa
para ibu bercengkerama di tudung pohon cemara
pada hijau alamku, kemilau embun masih purba
menorehkan sejuk di benak siapa saja.
Kini desaku masih kaya
– setidaknya kata pendatang
meski hutannya tak lagi selebat dulu
hujan melulu berbuah banjir
langitnya dicemari polusi udara dan pabrik.
Anak-anak memilih bermain di dalam rumah
sebab di depan pintu, cuaca tak lagi ramah.
Desaku demokratis
banyak reklame partai
tertancap di tanahnya
desaku maju
akibat termakan rayuan retorika pembangunan.
Desaku berubah
rembulan enggan bercermin di keruh sungainya
sawah-sawah diracuni pestisida
penduduknya dipaksa memikul duka kemiskinan.
Tanah air kecilku, tuan, kini bermandi korosi
manakala segalanya selalu saja
dilumpuri kepentingan politik.
13 Maret 2012
Selasa, 06 Maret 2012
Perempuan Penjaga Wartel
Setiap kali berkunjung ke perpustakaan, saya sering bertemu dengan seorang perempuan yang suka membaca buku-buku Pablo Neruda. Saya bisa tahu karena saya pernah meminjam salah satu bukunya (padahal saya tak pernah membaca buku puisi sebelumnya).
Saya pun menuliskan sajak di selembar kertas, tentang betapa anggunnya dia waktu sedang membaca. Sajak itu saya selipkan tepat di halaman tengah buku dan menaruhnya di rak yang mudah dijangkau olehnya. Keesokan harinya, benar saja, ketika membacanya, dia pun tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan, dan sepertinya dia bisa menebak siapa penulisnya, karena sesaat, matanya menangkap basah saya yang sedang menunduk dengan pipi semerah tomat.
Kemudian, saya pun tahu, dia adalah perempuan penjaga wartel yang bekerja di depan perpustakaan. Di jam istirahat maupun libur, dia senang menghabiskan waktu dengan membaca. Saya jadi sering menyewa telpon meski tujuan utama saya adalah melihat senyumnya dari balik kaca, dan bila beruntung, saya juga bisa melihatnya membetulkan rambut sambil menggigit ikat merah jambu kesayangannya. Manis sekali.
Setelah berminggu menjadi pelanggan, akhirnya saya berhasil mendapatkan nomor ponselnya. Saya pun memutuskan menelponnya di wartel tempatnya bekerja. Kebetulan saat itu sedang jam makan siang, jadi kami bisa lama mengobrol, hingga setengah jam lebih.
Dia pun terbahak, waktu saya membayar dengan sekantong permen yang sering ia berikan sebagai ganti kembalian. "Terima kasih untuk obrolan manisnya," canda saya. Tepat di sebelahnya, saya pun meletakan buku "The Essential Neruda: Selected Poem", yang saya beli dengan upah hasil magang sebulan. Dibalik buku itu ada secarik kertas, di mana hanya dia yang tahu, apa yang tertulis di dalamnya.
=)
— 07 Maret 2012 —
Terinspirasi tulisannya Kak @hurufkecil di twitter, dan ditulis sambil menikmati lagu-lagunya Anri Kumaki di album Hikari no Toorimichi =).
Sabtu, 03 Maret 2012
Kita Menamainya Senja, Bukan?
Sebuah pemandangan sederhana
manakala langit membawamu
pada suatu tempat
di mana kau pasti disambut
dengan pelukan hangat
sementara di sini, hanya ada kehilangan
dalam dadaku.
Namun bukankah hidup
seringkali berada
di antara perpisahan dan pertemuan.
Lalu, ada di sisi manakah
kerinduan
kauletakan?
03 Maret 2012
Sasmita Alam
Pada sembab malam
ketika kunang-kunang
berpendaran di telapak ilalang –
malam pun menciptakan kehidupanya sendiri
kehidupan penuh rahasia
di mana kita—manusia, tak pernah mampu
menyintuhnya.
27 Februari 2012
Kamis, 01 Maret 2012
Senin, 27 Februari 2012
Terjaga Tengah Malam
Datanglah, Kekasih
duduklah bersamaku di teras rumah
Malam telah larut – namun begitu lembut
: ziarahkan doa-doa.
Bulan purnama khidmat
kesiup angin menyeruak di antara rerumputan
di tepinya pohon-pohon berakar kekar
dipenuhi embun dan binatang pengerat.
Kemarilah
duduk di sampingku –
cepatlah kaupinjam aksara di telapak daun-daun
bilamana kau ingin menulis puisi
sebab teramat mungkin – kita hanya sedang dipermainkan cuaca
di mana bunga dan kuntum hanya ada dalam imajinasi
: perlahan redup manakala kau membuka mata.
Kembalilah sebentar, Kekasih
pada masa di mana kita
belum lagi bertemu
aku pun hendak menutup mata, dan merelakan
segala kemungkinan
hanya ada dalam mimpi.
27 Februari 2012
Minggu, 26 Februari 2012
Epigram Pagi
Burung sikatan berkicau di dahan pohonan
fajar mengintip di balik celah daunan.
Engkaukah udara, ditiupkan pagi pada hidup
ada embun, di setiap sajak tentangmu.
— 27 Februari 2012 —
Sabtu, 25 Februari 2012
Bunga-bunga Kecil Pemberianmu
Di depan jendela, aku melihat sebatang pohon, berdiri kokoh tak berdaun, di mana kenangan masih hinggap pada rantingnya–dan kanak, bernyanyi riang bagai anak burung belajar terbang. Aku tersenyum membayangkan kaupernah memendam banyak memori di sana–dan menanam bunga-bunga di hatiku nan senyap.
Putri kecil kini beranjak dewasa, bagai kuntum merekah, di dekat sungai mengalir. Waktu menjelma langit, air perlahan membutir di balik gugusan awan–salju turun meski musim telah berganti. Di bawah mendung, kau teringat kembali pada ia, tuan pendongeng, di mana tutur katanya begitu sederhana dan tak terduga. Barangkali sama sepertiku, merindukan mata ayahku. Namun pendongeng dalam kenangmu tentu aku, bukan? Kau hanya tak tahu, kau bagian terindah dalam dongeng ciptaanku.
Hingga pada suatu malam, bintang pun berganti arah–barangkali engkaulah pendongeng terbaik, teruntuk hidupku kelak. Di mana tutur katamu, menjanjikan matahari terbit, menjadi selimut hangat di malam-malam sembab–dan jemari lembutmu menari di jendela, melukis bunga-bunga kecil–di jiwa nan lindap. Barangkali kita tak pernah lagi bertemu. Aku tak tahu, aku hanya punya doa dan engkau harus bahagia di dalamnya.
Semoga kau dapat membacanya, di manapun kau berada. Aku merindukanmu.
— 25 Januari 2012 —
Hujan pun reda, pada lengkung pelangi, aku mengenang matamu nan jelita.
Jumat, 24 Februari 2012
Dongeng Musim Gugur
Penjual bunga, ingatkah
pada gadis kecil berambut merah
dia senang duduk di kebun maple
dalam khusyuk angin tenang
di sekitarnya, daun-daun kering berguguran
menyairkan hening kenangan.
Katamu, ia sering terlihat murung
merenung lekat angsa terbang menuju Selatan.
Bila ia tak ada
pohon-pohon hilang teduh
langit tertegun diterik siang
segala kenang hanya penantian panjang di bangku kereta
dan waktu menjadi tak bersuara
seluruh kota menerawang sia-sia.
Dia ada dalam dongengmu, bukan?
Ditulis dengan damba, buku harian sederhana
kau menamainya musim gugur
: sketsa senja rindumu.
Di mana dia sekarang
ceritakanlah padaku.
Sungguh aku ingin bertemu
hanyut dalam sendu matamu.
— 25 Februari 2012 —
Epigram — Sehari Lebih Lama
Aku ingin mencintaimu sehari lebih lama dari apa yang kita sebut selamanya.
— 13 Februari 2012 —
Kamis, 23 Februari 2012
Piknik
Berkunjunglah sesekali
rumahku dibangun di dekat sawah
di depannya ada pohon mangga tua
di mana batangnya sudah banyak berbuah
mari kita urai banyak percakapan
sambil bersantap rujak bersama.
Dan bila langit beranjak merah
tunggulah di sini, di beranda mungilku
berbatang-batang kangkung tumbuh di dekat sungai
sudah siap aku petik seikat —
Sementara aku memasak
dapatkah kaucium harumnya
: teracik wangi di wajan hitam?
Berkunjunglah sesekali
sekadar bertemu habiskan hari
di sini, aku punya banyak resep
dan kau, pasti menyukainya.
— 24 Februari 2012 —
Teruntuk Farah 'Falafu' dan Mumu 'Pramoeaga'
Senin, 20 Februari 2012
Serene Poem
I want to write a serene poem
about the moon peeking through leaves
about how peaceful the drizzle drops
about you.
Aku ingin menulis sajak bahagia
tentang rembulan di balik celah daunan
tentang kedamaian, ketika hujan mulai turun
tentangmu.
25 September 2011
Minggu, 19 Februari 2012
Kisah Bintang Lyra
/1/
Nun jauh di Thrakia
ketika ketinggian Olimpus masih terlihat
hiduplah seorang musisi bernama Orpheus
: putra Muse Kalliope dan Oiagros.
Konon, Dewa Apollo sendiri mengajarkannya musik
dan menghadiahkan sebuah lyra padanya.
Dengan lyra pemberian Apollo
Orpheus memadahkan nada-nada indahnya.
Dalam sekejap
ia pun terkenal sebagai musisi berbakat
dan kehadirannya, begitu diminati di banyak kota.
Namun, di tengah kesibukannya
Orpheus selalu menyempatkan hati
menciptakan simfoni, tentang cinta nan suci,
ia juga sering menyanyikan ode
buat para dewa dan ksatria.
Di singgasana Olimpus
Eros, putra Aphrodite, begitu haru melihat kesungguhan Orpheus
dengan panahnya, Orpheus dibuat jatuh cinta
pada Eurydike nan jelita.
Eros berharap, dengan adanya kasih
nada-nada gubahan Orpheus semakin indah
: seolah mampu bersendagurau dengan semesta.
Kini, cinta pun menyatukan keduanya
dalam ikatan pernikahan nan agung.
/2/
Di tengah kegirangan taman bunga
Orpheus terkantuk di bawah pohon ek
Sementara Eurydike
menari riang di sekitarnya.
Cuaca demikian hangat
burung-burung berkicau di rindang pepohonan
angin kecil berhembus di pucuk dedaunan.
Begitu indahnya semesta
Orpheus pun memetik lyra-nya
untuk mengiringi tarian Eurydike.
Suasana menjadi akrab dan menyenangkan di sana.
Tetapi, di sudut tak terlihat
Takdir sedang menuliskan tragedi
dengan tinta tak terhapus.
—
Tiba-tiba, seekor ular
menancapkan taringnya di kaki Eurydike
dan semua, menjadi begitu terlambat
dengan cepat, Orpheus memeluk kekasihnya
namun, ia telah kehilangan cinta sejatinya
bahkan sebelum tangannya sempat
menyentuh punggung Eurydike.
Sekejap
roh Eurydike melayang menuju Hades
meneriakan pilu nan gemetar
tanpa sedikit pun mampu terdengar
tangan Eurydike melambai-lambai hampa
dengan geletar takut nan nyata.
Di dunia, suara tangis Orpheus
tumpah bersama butiran sunyi.
O, Dewa, ada bening mengalir di sudut mata
bukan darah, bukan pula luka, namun mengapa
pedihnya alangkah terasa, di hati
— isaknya.
/3/
Hanya ada satu cara menemukan Eurydike
di Taigetoss, ada sebuah lorong menuju gua
di sanalah, pintu masuk Hades, terbuka.
Orpheus pun melawan takdir di hulu waktu
menerobos batas-batas hidup dan mati.
Di dalam gua, suasana sunyi
meski hitam nyaris menebang cahaya
Orpheus terus melangkah
cintanya pada Eurydike, membuatnya mampu bertahan.
Di sana, Hermes — Sang Pengantar
dengan tongkat dan tumit bersayap
sempat melarangnya masuk
Engkau masih hidup — katanya.
Tetapi, melihat tekad Orpheus
Hermes pun iba dan menuntunnya
menuju kediaman Hades.
Setelah melewati tebing dan lorong-lorong nan gelap
samar, terdengar suara air di kejauhan
: Sungai Styx.
Dalam hitamnya pekat
Kharon, tuan penyeberang, datang dengan perahunya
diulurkannya tangan pada Hermes.
Namun, ia begitu takjub melihat Orpheus
Tuan, belum waktunya engkau di sini. — seraknya.
Orpheus pun menceritakan kesungguhannya dengan nyanyian
dipetiknya lyra pemberian Apollo
dikisahkannya kebahagiaan
manakala ia menemukan Eurydike
Namun kini, ia bagai bunga, Tuan, dan maut memetiknya
sebelum kelopaknya sempat merekah
dan malam pun dipenuhi rasa rindu
: begitu akrab, dengan kesedihan.
Kharon pun terharu
membiarkan Orpheus menumpang di perahunya.
/4/
Di istana nan suram
Hades, dengan dwisulanya, begitu terkejut
melihat kedatangan Orpheus
Siapakah engkau, pemuda,
berani-beraninya menyilau aku?
— katanya.
Orpheus pun mundur selangkah.
Wajah Hades memerah, menahan amarah
Di sini belum lagi jadi tempatmu! — geramnya.
Namun, ketika Orpheus memetik lyra-nya.
Hades pun terpaku
sejenak menyelami nada-nada selembut salju
Dewa dengan hati sekeras batu tersebut
begitu takjub mendengar permainan Orpheus.
Teduh sandari segala keheningan
suasana di Hades berangsur damai
bahkan Tantalos, tak lagi mengingat lapar dahaganya
dan Persephone, istri Hades, dengan mata berkaca
menyimpan jiwanya dalam selendang air mata.
Di tengah kerumunan,
rindu terengah meniti jalannya
: Eurydike muncul
jatuh di pelukan Orpheus.
Namun, Hermes segera menariknya
bersentuhan dengan orang mati
jelas melanggar hukum Hades! — bisiknya.
/5/
Dewa, aku hanya ingin kekasihku kembali
— kata Orpheus.
Di tahtanya, Hades gamang, ditatapnya Persephone
kendati ia hanya terisak, merelungi nyanyian Orpheus.
Hades pun berdiri, mengizinkan Orpheus membawa pulang kekasihnya
dengan syarat
sebelum menyentuh dunia luar
Eurydike harus berjalan mengikuti Orpheus
dan Orpheus, dilarang menengok ke belakang
sekalipun terdesak.
Namun, perintah Hades ternyata tak semudah terdengar
sebab manusia selalu diliputi rasa curiga
: mengapa tak ada suara langkah lain
selain ia dan Hermes?
Mungkinkah Kharon tak mengizinkan Eurydike
menyeberang sungai Styx bersamanya?
Demikian penat jejak kembara
seribu pertanyaan menyesak di dada
: benarkah kekasihnya ada di sana?
Semilir angin, tanpa aroma napas Eurydike
alangkah, melelehkan keyakinan di hatinya.
Lunas perahu di sudut sungai Styx
menuntaskan halaman tengah perjalanan.
Seberkas cahaya mulai terlihat
: kertap kerlip janji kerinduan.
Namun, tempias khawatir tak dapat dibendung
basah jiwa mendesir di dada
barang sedetik, Orpheus melihat ke belakang
sekadar memastikan kekasihnya ada di situ,
tetapi
perbuatannya justru menarik roh Eurydike
kembali ke Hades
tepat selangkah sebelum kaki Orpheus
menginjak bayangan matahari.
Dan rindu pun
membatu.
19 November 2011
Sumber gambar ada di sini
Gadis Jeruk
Duduklah dengan nyaman, Georg,
dengarkan aku bercerita –
Ada sebuah dongeng besar
tentang cinta
tempat kita semua terikat di dalamnya
dan biasa kita sebut kehidupan
Dalam kisahku, ada dia sebagai tokoh utama
: sesosok jelita,
sekantong besar jeruk di tangannya
dalam sebuah trem, siang musim dingin
Dan aku begitu mudah jatuh
pada pandangan pertama
: padanya
entah bagaimana
aku terikat lama sebelumnya.
Kemudian
seperti rasa penasaran ketika kau menera-nera
letak bintang dan rembulan
aku terus mencari dia yang terus pula mencari
mewujudkan sebuah dongeng baru
yang ditautkan oleh semesta
tentang aku dan dia
juga dirimu
Mungkin itu yang kita sebut takdir.
Dan, Georg,
Suatu hari nanti
saat kita berbaring menatap langit
dapatkah kaujawab tanyaku tentang dunia
sesaat sebelum kita tercerabut dari
dongeng yang tak pernah berakhir dengan selamanya?
Namun terabadikan pertemuan-pertemuan di dalamnya
hingga, ketika kita mulai menutup halaman-halamannya
kau bakal sadar
kita tak sedang membicarakan apa-apa
selain harapan,
bukan?
Kolaborasi bersama
Micka dan Rafael Yanuar
(Oktober 2011)
Catatan:
1. Sajak Gadis Jeruk terinspirasi novel Appelsinpiken karya Jostein Gaarder (beliau penulis novel filsafat Sophie Verden)
2. Perempuan dalam gambar bernama Annie Nygaard, pemeran Gadis Jeruk dalam film
3. Sumber gambar ada di sini
Sabtu, 18 Februari 2012
Berjalan di Hutan Pinus dan Aku Merindukanmu
Bahkan, ketika kabut mulai turun
dan pagi kian berembun
alam tak pernah habis singkap rahasia.
Selalu ada kejutan-kejutan baru di setiap perjumpaan
di mana aku tak habis-habisnya terkesima —
Saksikan kupu-kupu bermain di lembar udara
bersama lena semilir angin di pucuk dedaunan.
Bahkan tanpa perlu kita tafsirkan
damai tercipta begitu sederhana —
bagaimana doa meriap di hela angin lembah
manakala mataku terpejam, sembari bertanya
Perlukah alam menuliskan kata-kata
dalam puisinya?
Bukankah di setiap ketuk angin
ada isyarat terbaca
tentang rindu abadi, di sela kerpas rumputan
di mana bunga-bunga kecil bertangkai panjang, serupa pena
menuliskan dzikir pada semesta
: sampai doa, bersiaga melayangi cakrawala.
Maka biarkan aku berjalan beberapa langkah lagi
sekadar mengulang kenangan, pun
dalam tangis tersedan
bertukar isyarat
pada alam.
Sebab aku percaya, kita selalu bisa
menanam bibit mungil waktu, di setiap perjumpaan —
Cukuplah rindu tumbuh sebagai kuntum
di mana cahaya, selalu ingin
menyapanya lebih dulu.
— 17 Februari 2012 —
Ditulis sambil menikmati lagu-lagunya Yuyake Lamp di album Yuyake Ballad =)